Thursday, January 31, 2013

15. HUKUM BERSENGGAMA MEMBAYANGKAN ORANG LAIN

Pertanyaan:

Salam
bagaimana hukumnya bagi suami yg senggama brsama istrinya dngn mmbayangkan wanita lain ada di depannya?Mksih

Jawaban:

Masalah yang anda tanyakan ini sebenarnya masalah khilafiyah (masih dipertentangkan), namun sebaiknya hal ini jangan anda lakukan. Memang benar apa yang telah anda dengar tentang pendapat tersebut, tetapi yang harus anda ingat bahwa yang dibayangkan adalah keshalehannya atau keilmuannya. Artinya, mudah-mudahan kalau dikaruniai anak bisa meniru keshalehan atau keilmuan orang yang dibayangkan tersebut. 
Maraji’: Khasatus Sarwani juz. 7, hal. 215, Asybah wannadhoir.

Fokus: membayangkan yang diperbolehkan dalam arti bisa meniru keshalehan atau keilmuan orang yang dibayangkan tersebut, apabila membayangkan faktor X, maka haram hukumnya.

http://www.facebook.com/groups/kalamrisalah/permalink/429476790457295/


15. HUKUM BERSENGGAMA MEMBAYANGKAN ORANG LAIN

14. HUKUM SHALAT PADA ORANG TUNA NETRA DAN TUNA RUNGU SEJAK LAHIR

Pertanyaan:
Salam
sholat hukumnya wajib bagi orang islam bhkan dlm keadaan sakit pun kita masih diwajibkan sholat,,yg mnjadi pertanyaan saya adlah apakah orang yg tuna rungu dan tuna netra sejak lahir masih diwajibkan mengrjakan sholat?Mksih
Suka ·  ·  · 25 Januari pukul 18:56 melalui seluler
Jawaban:
Pada hakikatnya sholat itu wajib dikerjakan pada  berdiri, duduk, dan berbaring. Ha ini berdasarkan: Tafsir/ Jalalain / Surah An Nisaa’ 103 
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103) 

(Dan apabila kamu telah menyelesaikan salat, maka ingatlah Allah) dengan membaca tahlil dan tasbih (baik di waktu berdiri maupun di waktu duduk dan berbaring) tegasnya pada setiap saat. (Kemudian apabila kamu telah merasa tenteram) artinya aman dari bahaya (maka dirikanlah salat itu) sebagaimana mestinya. (Sesungguhnya salat itu atas orang-orang yang beriman adalah suatu kewajiban) artinya suatu fardu (yang ditetapkan waktunya) maka janganlah diundur atau ditangguhkan mengerjakannya. 

Asbabunnuzulnya: Ayat berikut turun tatkala Rasulullah saw. mengirim satu pasukan tentara untuk menyusul Abu Sofyan dan anak buahnya ketika mereka kembali dari perang Uhud. Mereka mengeluh karena menderita luka-luka: mereka minta ditangguhkan sholatnya.
Adapun perkecualian, berikut penjabarannya, sekaligus menjawab pertanyaan di atas:
 diantara syarat wajib solat adalah mendengar melihat. FALAA TAJIBU ASHSHOLATU ALAA MAN KHULIQO ASHOMMA A’MAA WALAW NAATHIQON.
kasyifatussaja 51
(إِنَّمَا تجب الْمَكْتُوبَة) أَي الصَّلَوَات الْخمس (على مُسلم)

(مُكَلّف) أَي بَالغ عَاقل سليم الْحَواس بلغته الدعْوَة

وَمن نَشأ بشاهق جبل وَلم تبلغه دَعْوَة الْإِسْلَام غير مُكَلّف بِشَيْءوَكَذَا من خلق أعمى أَصمّ فَإِنَّهُ غير مُكَلّف بِشَيْء إِذْ لَا طَرِيق لَهُ إِلَى الْعلم بذلك وَلَو كَانَ ناطقا لِأَن النُّطْق بِمُجَرَّدِهِ لَا يكون طَرِيقا لمعْرِفَة الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة بِخِلَاف من طَرَأَ عَلَيْهِ ذَلِك بعد الْمعرفَة فَإِنَّهُ مُكَلّف

Nihayatuzzain 1/9

Syarat wajib solat fardlu:
1. MUSLIM 
2. MUKALLAF (aqil baligh)
3. sampainya da’wah (islam)

maka bagi orang yang tidak tersentuh da’wah islam karena tidak terjangkau, seperti orang yang tinggal di puncak gunung misalnya, maka mereka tidak terkena hukum wajib.

begitu juga orang yang dilahirkanan dalam keadaan buta dan tuli, mereka tidak terkena kewajiban, dikarenakan tidak ada cara untuk menyampaikan da’wah kepadanya.

أَمَّا الطَّارِئُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ التَّمْيِيزِ فَكَالْأَصْلِيِّ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ التَّمْيِيزِ وَلَوْ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَعَرَفَ الْحُكْمَ تَعَلَّقَ بِهِ الْوُجُوبُ اهـ اج.
albujairomi ala al khotib 1/408

berbeda apabila kondisi (buta tuli) itu datang setelah tamyiz (masa menjelang baligh) dan telah mengetahui hukum (permasalahan) sholat, maka yang bersangkutan terkena kewajiban.

Kewajiban melaksanakan solat bagi anak yang sudah tamyiz dan belum baligh, doktrin atau khithobnya lebih ke orang tua wali untuk mulai memberikan latihan sholat kepada anak-anaknya. Itu berlandaskan kepada hadits …

572 – وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَكَذَا رَوَاهُ فِي ” شَرْحِ السُّنَّةِ ” عَنْهُ.وَرَوََاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ مِنْ رِوَايَةِ: عَبْدِ الْمَلَكِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ بِدُونِ قَوْلِهِ: وَفَرِّقُوا إِلَخْ.قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَسَنٌ صَحِيحٌ

“perintahlah anak-anakmu sholat setelah mereka memasuki usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (karena meninggalkan sholat) bila sudah menginjak usia 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur mereka.
Adapun orang yang lahir dalam keadaan buta dan tuli tidak ditaklif hukum syarak yang ada. Dalam bentuk apapun ia tinggalkan, tidak ada sanksi dosa. Karena ia tidak ada jalan untuk mengetahui tuntutan syari’at yang dimaksud. Kalau buta dan tuli itu timbul setelah tahu pada hukum syariat, maka ia tetap terkena taklif hukum syarak. Kalau ia tidak shalat umpamanya, maka dianggap berdosa.

Lihat: Nihayah az-Zain/9; Hasyiyah al-Bajuri/1/134.
(Doc. PISS KTB)
http://www.facebook.com/groups/kalamrisalah/permalink/438959919508982/

14. HUKUM SHALAT PADA ORANG TUNA NETRA DAN TUNA RUNGU SEJAK LAHIR

13. HUKUM ANAK KECIL ADZAN

Pertanyaan:

Salam
gimana hukumnya anak kecil adzan???Mksih
Suka ·  ·  · 10 Januari pukul 18:44 melalui seluler
Jawaban:
Terjadi perbedaan; ada yang memperbolehkan, ada yang memakruhkan dan menganggapnya tidak sah. Adapun yang melarang, berdasarkan Fathu Mu’in (tentang adzan dan iqomah); Wayukrohaani min muhditsin wa sobiyyin wa faasiqin wa laa yasihhu nasobuhu.. Makruh azan dan ikamah bagi yang dalam keadaan hadas, anak kecil dan orang fasik. Dan tidak sah menyerahkan  (Azan dan ikamah) kepada anak kecil dan org fasik.
Adapun yang memperboehkan;  Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Abi Bakar bin Anas dia berkata:
“Dulu para pamanku menyuruh saya mengumandangkan adzan untuk mereka sementara saya masih kecil dan belum balig. Anas bin Malik melihat hal itu tapi beliau tidak mengingkarinya.” (lihat Al-Mughni: 2/68)

http://www.facebook.com/groups/kalamrisalah/permalink/432384320166542/

13. HUKUM ANAK KECIL ADZAN

12. HAKIKAT DITERIMANYA DOA

Pertanyaan:

mohon pencerahan;sahabat KR,,, memahami ayat “UD’UUNY ASTAJIB LAKUM” ini menunjukkan perintah(ud’uuny=memohonlah/berdo’alah padaKU) kemudian dilanjutkan janji dari alloh yaiti(ASTAJIB LAKUM=kelak segera akan AKU kabulkan do’amu kalian semua) yang saya ingin tahu, lalu do’a yang bagaimana? yang dijamin Alloh kelak segera dikabulkan…atas aprovenya..kami sampaikan trimakasih…
Suka ·  ·  · 27 Januari pukul 10:03

Jawaban:

KAJIAN HIKAM BAG 06

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح في الدعاء – موجبا ليأسك ؛ فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فما تختار لنفسك وفي الوقت الذي يريد ، لا في الوقت الذي تريد .

Makno Djenggot (gandul)
“Ojo ono opo mundure mangsane peparingane Allah sedeng oleh jaluk (donga) ira ing Allah iku kelawan nggethu iku anyebabake dadi luwase (putus asane) iro oleh donga.Maka utawi Allah iku wis nanggung ing sira kelawan nembadani ing barang kang dadi pilihane Allah,dudu ing barang kang sira karepi milih lan ing dalem wektu kang Allah kersa ake,dudu ing dalem wektu kang sira kersa ake.”

Maksude,lamun sira wis nggethu olehe jaluk/donga ing Allah nuli durung diijabah dening Allah maka ojo iku dadi putus asane awak ira.Sebab saben-saben donga iku mesti den ijabah dening Allah,ananging kabeh gumantung ing putusane Allah lan pilihane Allah,kerana sak becik-becik pilihan iku pilihane Allah…Sing penting sira yakin kayak kang wis didhawuhake Gusti Allah ing dalem Al-Quran…”Padha dongaa sira kabeh ing ing Ingsun,mesti Ingsun ijabah.”

TERJEMAH BAHASA NASIONAL:

Janganlah engkau putus asa karena tertundanya pemberian, padahal engkau telah mengulang-ulang doa. Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada saat yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau ingini.

Di antara syarat diterimanya doa adalah apabila dilaksanakan dengan penuh harapan dan tidak berputus asa. Belum terkabulnya doa seorang hamba, padahal ia telah berulang-ulang berdoa jangan sampai menjadikannya putus asa, karena Allah berfirman, 

”Berdoalah kalian kepada-Ku maka Aku akan mengabulkanmu.” (Ghâfir: 60)

Allah SWT. akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Namun demikian, terkabulnya doa tidaklah terikat dengan kemauan si hamba akan tetapi lebih terikat dengan kehendak dan rencana Allah. Karena Allah Maha Mengetahui akan kondisi hamba-hamba-Nya; terkadang Allah menolak permintaan seorang hamba, karena memang yang terbaik adalah tidak terkabulnya doa itu. Dalam konteks ini, ketika Allah menolak suatu doa sebenarnya secara tersirat memberi, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Atha’, ”Ketika Allah menolak sebuah permintaan sebenarnya memberi dan ketika memberi sebenarnya menolak.” Untuk memperkuat pandangan ini, simaklah ayat berikut ini,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216) 

”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Penolakan Allah dalam merealisasikan suatu doa, mempunyai substansi pemberian yang tepat bagi manusia. Demikian juga, Dia mengabulkan sebuah doa pada waktu yang ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang engkau tentukan. Jadilah seperti Musa yang sabar, karena sabar dan tidak tergesa-gesa merupakan sifat yang utama bagi seorang hamba. Simaklah kisah Musa dan Harun yang berdoa agar Fir’aun dan kaumnya beriman kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, ”Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau.” (Yûnus: 88) Sampai akhir ayat yang mengisahkan tentang permohonan Musa dan Harun agar kaumnya beriman kepada Allah, dan ternyata permohonan itu baru dikabulkan setelah empat puluh (40) tahun berlalu, sebagaimana firman Allah berikutnya,

”Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu teteplah kalian berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Yûnus: 89)

Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Sesungguhnya Allah menyukai kesabaran dalam doa.”

Juga dalam hadits lain disebutkan, ”Sesungguhnya hamba yang shaleh apabila berdoa kepada Allah, malaikat Jibril berkata: Wahai Tuhanku, hamba-Mu fulan telah berdoa, maka kabulkanlah. Kemudian Allah berfirman: Berdoalah wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku senang mendengar suaramu.”

Demikianlah, tata krama dalam berdoa yang telah ditunjukkan oleh Allah agar menjadi pedoman bagi umat Islam. Terkadang Allah mengabulkan atau mengganti dengan hal lain yang notabene merupakan kebaikan dan tambahan yang lebih baik.

https://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/281753051847510

Jadi bisa disimpulkan bahwa hakikat diterimanya/makbulnya doa, melalui 3 perkara:

1. Di beri sesuai permintaanmu
2. Diberi dng cara di gantikan sesuatu yg lain..
3. Diberi, akan diberikan pada suatu masa, kalau tdk di dunia ya di akhirat.

http://www.facebook.com/groups/kalamrisalah/permalink/439653586106282/


12. HAKIKAT DITERIMANYA DOA

11. MENGUSAP WAJAH SETELAH SELESAI SHALAT

Pertanyaan:

Bismillahirohmanirrahim
.Sebenarnya, ap mkna dri mengusap muka stelah mlakukan slam dlm shalat atau stelah brdoa? Ataukah tdk ad makna trtentu yg trkandung dlm hal tsb?

Jawaban:

- Imamas-Son’ani berkata: “Ada ulama yang berkata bahwa hikmahnya adalah karena kedua tangan yang diangkat ketika berdoa itu tidak kosong dari rahmat Allah. Maka wajarlah kalau kedua tangan yang penuh dengan rahmatAllah itu disapukan terlebih dahulu kewajahnya sebelum diturunkan, karena wajah itu dianggap sebagai anggota tubuh manusia yang palingmulia dan paling terhormat”.

- Terkait mengusap wajah Hadits shahih Dari Ibn Sunni Riwayat Anas ra, bahwa Rasul saw bila selesai dari shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya, lalu berkata : Asyhadu an Laa ilaahaillallahu Arrahmaanurrahiim, Allahumma Idzhib anniy alhammu walhazn. *(Al Adzkar Imam Nawawi
hal.69)

- Adapun diantara hadits yg dhoif tsb antara lain:
Dari Umar bin al Khattab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya” (HR Tirmidzi no 3386)

Dari Muhammad bin Ka’ab al Qurazhi, Abdullah bercerita kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menutupi tembok. Siapa saja yang melihat buku kawannya tanpa seizinnya maka sebenarnya dia hanyalah memandang api neraka. Berdoalah meminta kepada Allah dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan kalian dan janganlah kalian menggunakan bagian luar telapak tangan. Jika kalian selesai berdoa maka usapkanlah tangan kalian ke wajah” (HR Abu Daud no 1485. Tentang hadits ini Abu Daud berkomentar, “Hadits ini memiliki beberapa jalur sanad dari Muhammad bin Kaab. Seluruh jalur sanadnya itu sangat lemah. Jalur sanad yang ini-yaitu hadits di atas- adalah sanad yang paling bagus namun derajatnya adalah lemah”). dan ini memang ada perbedaan pendapat diantara para ulama, wallahu a’lam.


11. MENGUSAP WAJAH SETELAH SELESAI SHALAT

10. HUKUM ZAKAT UANG

Pertanyaan:

Bolehkah membayar zakat fitrah dengan uang?

Jawaban :

Membayar zakat fitrah dengan uang, menurut Syafi’iyyah tidak diperbolehkan, sedangkan menurut Hanafiyyah diperbolehkan.

Catatan Penting :

Berpijak pada pendapat yang memperbolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang (yakni hanya Hanafiyah) maka menurut kalangan ini, mengenai kadar uang yang dikeluarkan adalah disesuaikan nilai / harga bahan-bahan makanan yang manshush (disebutkan secara eksplisit dalam hadis) sebagai zakat fitrah, yakni

1 sho’ tamr / kurma, atau
1 sho’ gandum sya’ir, atau
½ sho’ zabib / anggur, atau
½ sho’ gandum burr
Yang kesemuanya mengacu pada nilai harga saat mulai terkena beban kewajiban (waqtul wujub).

Referensi :

Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab VI/113
Tarsyih al-Mustafîdîn, 154
Al-Mughni li Ibn Qudâmah II/357
Radd al-Mukhtâr II/286
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah XX/243
Al-Inâyah Syarh al-Hidâyah III/245
Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh II/909



فائدة: لا يجوز فى مذهب الامام الشافعى رحمه الله تعالى اخراج العرض عن القيمة فمن اراد اخراجه عنها قلد غيره ممن يرى الجواز كما افتى ابن حجر وغيره بجواز التقليد فى ذلك قال ابن زياد فى فتاويه أفتى البلقينى بجواز اخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقير فى زكاة النقد والتجارة وقال انه الذى اعتقده وبه أعمل وان كان مخالفا لمذهب الشافعى والفلوس انفع للمستحقين وأسهل وليس فيها غش كما فى الفضة المغشوشة ويتضرر المستحق اذا وردت عليه ولا يجد لها بدلا اهـ ويسع المقلد تقليده لانه من اهل التخريج والترجيح لا سيما اذا راجت الفلوس وكثر رغبة الناس فيها وقد سلف البلقينى فى ذلك البخارى وهو معدود من الشافعية فانه قال فى صحيحه باب العرض فى الزكاة وقال طاوس قال معاذ لأهل اليمن أئتونى بعرض ثياب خميص او لبيس فى الصدقة مكان الشعير والذرة أهون عليكم وخير لأصحاب النبى صلى الله عليه وسلم بالمدينة اهـ

المغني لابن قدامة الجزء الثاني ص: 357

( 1966 ) مسألة : قال : ( ومن أعطى القيمة لم تجزئه ) قال أبو داود قيل لأحمد وأنا أسمع أعطي دراهم يعني في صدقة الفطر قال أخاف أن لا يجزئه خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم . وقال أبو طالب , قال لي أحمد لا يعطي قيمته , قيل له : قوم يقولون , عمر بن عبد العزيز كان يأخذ بالقيمة , قال يدعون قول رسول الله صلى الله عليه وسلم ويقولون قال فلان , قال ابن عمر : فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم . وقال الله تعالى “أطيعوا الله وأطيعوا الرسول”. وقال قوم يردون السنن قال فلان قال فلان . وظاهر مذهبه أنه لا يجزئه إخراج القيمة في شيء من الزكوات . وبه قال مالك والشافعي وقال الثوري وأبو حنيفة يجوز . وقد روي ذلك عن عمر بن عبد العزيز والحسن وقد روي عن أحمد مثل قولهم فيما عدا الفطرة .

رد المختار الجزء الثاني ص : 286

( وجاز دفع القيمة في زكاة وعشر وخراج وفطرة ونذر وكفارة غير الإعتاق ) وتعتبر القيمة يوم الوجوب وقالا يوم الأداء . وفي السوائم يوم الأداء إجماعا وهو الأصح ويقوم في البلد الذي المال فيه ولو في مفازة ففي أقرب الأمصار إليه فتح .

الموسوعة الفقهية الجزء الثالث والعشرون ص: 243

( نوع الواجب ) : 12 – ذهب الحنفية إلى أنه يجزئ إخراج زكاة الفطر القيمة من النقود وهو الأفضل أو العروض لكن إن أخرج من البر أو دقيقه أو سويقه أجزأه نصف صاع وإن أخرج من الشعير أو التمر أو الزبيب فصاع لما روى ابن عمر رضي الله تعالى عنهما قال “كان الناس يخرجون على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم صاعا من شعير أو تمر أو سلت أو زبيب” قال ابن عمر فلما كان عمر وكثرت الحنطة جعل عمر نصف صاع حنطة مكان صاع من تلك الأشياء . ثم قال الحنفية : ما سوى هذه الأشياء الأربعة المنصوص عليها من الحبوب كالعدس والأرز أو غير الحبوب كاللبن والجبن واللحم والعروض فتعتبر قيمته بقيمة الأشياء المنصوص عليها فإذا أراد المتصدق أن يخرج صدقة الفطر من العدس مثلا فيقوم نصف صاع من بر فإذا كانت قيمة نصف الصاع ثمانية قروش مثلا أخرج من العدس ما قيمته ثمانية قروش مثلا ومن الأرز واللبن والجبن وغير ذلك من الأشياء التي لم ينص عليها الشارع يخرج من العدس ما يعادل قيمته . وذهب المالكية , إلى أنه يخرج من غالب قوت البلد كالعدس والأرز والفول والقمح والشعير والسلت والتمر والأقط والدخن . وما عدا ذلك لا يجزئ إلا إذا اقتاته الناس وتركوا الأنواع السابقة ولا يجوز الإخراج من غير الغالب إلا إذا كان أفضل بأن اقتات الناس الذرة فأخرج قمحا . وإذا أخرج من اللحم اعتبر الشبع فإذا كان الصاع من البر يكفي اثنين إذا خبز أخرج من اللحم ما يشبع اثنين .



والأصل أن ما هو منصوص عليه لا تعتبر فيه القيمة حتى لو أدى نصف صاع من تمر تبلغ قيمته قيمة نصف صاع من بر أو أكثر لم يجز لأن في اعتبار القيمة إبطال التقدير المنصوص عليه في المؤدى وهو لا يجوز فأما ما ليس بمنصوص عليه فإنه يلحق بالنصوص باعتبار القيمة إذ ليس فيه إبطال ذلك ( ثم يعتبر نصف صاع من بر وزنا فيما روى أبو يوسف عن أبي حنيفة رحمه الله ) لأن العلماء لما اختلفوا في مقدار الصاع أنه ثمانية أرطال أو خمسة أرطال وثلث رطل فقد اتفقوا على التقدير بما يعدل بالوزن وذلك دليل على اعتبار الوزن فيه وروى ابن رستم عن محمد كيلا

قال قلت له : لو وزن الرجل منوين من الحنطة وأعطاهما الفقير هل يجوز من صدقته فقال : لا فقد تكون الحنطة ثقيلة في الوزن ، وقد تكون خفيفة فإنما يعتبر نصف الصاع كيلا لأن الآثار جاءت بالتقدير بالصاع وهو اسم للمكيال . – إلى أن قال – قال ( والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي ) اختلف العلماء في الصاع فقال أبو حنيفة ومحمد رحمهما الله هو ما يسع فيه ثمانية أرطال بالرطل العراقي كل رطل عشرون أستارا والإستار ستة دراهم ونصف ( وقال أبو يوسف رحمه الله خمسة أرطال وثلث رطل وهو قول الشافعي رحمه الله لقوله صلى الله عليه وسلم “صاعنا أصغر الصيعان ” ) . وهذا أصغر بالنسبة إلى ثمانية أرطال .

فقه الاسلامى الجزء الثانى ص: 909-910

قال الحنفية تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء الحنطة والشعير والتمر والزبيب وقدرها نصف صاع من حنطة أو صاع من شعير أو تمر أو زبيب والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي، والرطل العراقي مئة وثلاثون درهماً، ويساوي 3800 غراماً؛ لأنه عليه السلام كان يتوضأ بالمد رطلين، ويغتسل بالصاع ثمانية أرطال وهكذا كان صاع عمر رضي الله عنه وهو أصغر من الهاشمي، وكانوا يستعملون الهاشمي.. إلى أن قال.. دفع القيمة: ويجوز عندهم أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم او دنانير او فلوسا او عروضا او ما شاء لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير لقوله صلى الله عليه وسلم اغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم والإغناء يحصل بالقيمة بل اتم واوفر وايسر لأنها اقرب الى دفع الحاجة فتبين ان النص معلل بالإغناء اهـ

http://lbm.lirboyo.net/zakat-fitrah-dengan-uang

Jawaban Lain:

Perkataan Imam Malik

Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Asy-Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Ahmad

Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)

Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2:671)

Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang itu tidak sah.

Beberapa perkataan ulama lain:

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)
Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, 3:860)
Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As-Sailul Jarar, 2:86)
Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)

Dalil-dalil masing-masing pihak

Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:

Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.
Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.
Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:

Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … sebagai makanan bagi orang miskin .…” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (H.r. Al-Bukhari, no. 1439)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya ….”(H.r. Al-Bukhari, no. 2311)
Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat fitri dengan mata uang.


10. HUKUM ZAKAT UANG

Wednesday, January 30, 2013

9. HUKUM MENIKAH DENGAN JIN

Pertanyaan:
ASSALAMUALAIKUM WR WB
mff sobat kr biar yang kemarin belum ada jwban yg memuaskan,ni mau nambah lagi

biar aneh tolong pencerahannya!
bolehkah orang muslim menikah dengan jin?
apa hukumnya?

Jawaban:

Masalah ini pernah dibahas oleh Imam Syibli Hanafi (769 h) dalam kitabya “Aakamul Marjan” dan Dumairi dalam kitabnya “Hayatul Hayawan al-Kubra”. Pembahasan meliputi permasalahan mungkinkah manusia menikah dengan jin? dan bolehkah bila itu terjadi.

>Kebanyakan ulama mengatakan mungkin dengan dalil firman Allah kepada iblis “berserikatlah dengan mereka (manusia) dalam harta dan anak-anak mereka” (Isra’ : 64). Hadist Rasulullah memperkuat ini “Barang siapa mengumpuli isterinya dengan tanpa membaca basmalah, maka syetan akan ikut andil bersamanya” (Ibnu Jarir dalam Tahdzibul Atsar).

Pendapat yang mengatakan tidak mungkin beralasan karena manusia diciptakan dari bumi, sedangkan jin dari api, kedua unsur ini tidak akan bisa berkumpul. Namun ini ditentang bahwa itu pada mulanya, tapi sekarang unsur tersebut sudah tidak ada lagi pada manusia dan jin.

Alasan kedua, tidak mungkin ada hubungan sex antar kedua mahluk ini, karena bagaimana bisa terjadi sperma manusia mengalami proses pembuahan dalam rahim jin atau sebaliknya. Ini juga ditentang bahwa pernikahan sepasang manusia yang sama sekali tidak mungkin berhubungan seksual juga diperbolehkan.

Hukumnya menurut syariat Islam:
Para ulama berbeda pendapat.
1.Pertama mengatakan tidak boleh dikatakan oleh ulama Hanbali, seperti termaktub dalam fatawa Sirajiyah. Dalilnya firman Allah “Dan Allah telah menjadikan untuk kalian dari diri kalian isteri-isteri” (an-Nahl : 72). Dan ayat “Dan di antara tanda-tanda kebesarannya, Allah menciptakan untuk kamu sekalian dari jenismu isteri-isteri agar kalian bisa tenteram dan dijadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang” (ar-Rum:21). Ayat-ayat ini jelas bahwa dalam pernikahan dengan jin tidak menyimpan tujuan di atas dan perbedaan alam menghalangi terwujudnya hubungan pernikahan yang sempurna.

2.Pendapat kedua dari Hasan Basri dan Qatadah mengatakan boleh. Ayat tersebut menurutnya, tidak menyatakan jelas keharaman nikah antara manusia dan jin, toh agama diturunkan untuk kedua mahluk tersebut.

Namun pendapat yang mengatakan boleh tetap mengatakan bahwa pernikahan antara manusia dan jin hukumnya makruh, karena permasalahan yang mungkin timbul akibat pernikahan ini sulit menyelesaikannya secara hukum. Misalnya tercadai gugat cerai atau masalah nafkah, sulit diselesaikan secara hukum. Imam Malik pernah ditanyai : Seorang lelaki dari bangsa jin ingin menikahi perempuan muslimah? Beliau bilang “Saya melihat ini boleh-boleh saja secara agama, tapi saya sangat tidak suka melihat wanita hamil, kemudian ketika ditanyai siapa suamimu, lalu ia bilang “jin”. Lama-lama para pelaku hamil di luar nikah pun akan mengatakan hal yang sama, hingga banyak kerusakan dalam Islam.

3.Madzhab Maliki tetap mengatakan boleh disertai makruh hukumnya lelaki manusia menikah dengan jin perempuan.

Wallahu a’lam bissowab
(Copas dr Pesantren Virtual dan PISS KTB)

 

Jawaban Lain:

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang kemungkiinan terjadinya pernikahan antara manusia dan jin. Pendapat yang tepat adalah bahwa hal itu dimungkinkan berdasarkan firman Allah swt :

وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ وَعِدْهُمْ

Artinya : “Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak.” (QS. Al Isra : 64)

Adapun tentang hukum pernikahan antara manusia dan jin maka tidaklah dibolehkan, sebagaimana hal itu diterangkan Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Asybah an Nazhair”.

Di dalam permasalahan-permasalahan tentangnya telah ditanyakan asy Syeikh Jamaluddin al Isnawi kepada hakim dari para hakim Syarofuddin al Bariziy apabila seseorang ingin menikah dengan wanita dari kalangan jin —ketika dimungkinkan— maka apakah hal demikian diperbolehkan atau dilarang. Sesungguhnya Allah SWT berfirman :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri.” (QS.Ar Ruum : 21)—Sang Maha Pencipta telah memberikan karunia dengan menjadikan hal itu dari satu jenis yang bisa dipergauli.

Dan jika kita membolehkan hal demikian —ini disebutkan di dalam kitab “Syarh al Wajiz’ milik Ibnu Yunus— maka apakah diharuskan bagi jin wanita itu untuk tetap tinggal di rumah atau tidak? Apakah dia dilarang untuk berbentuk selain bentuk manusia ketika dirinya menyanggupi karena kadang dirinya senang dan kadang tidak dengan hal itu? Apakah dirinya juga tergantung dengan syarat-syarat sah pernikahan seperti walinya atau apakah dirinya harus bersih dari berbagai penghalang (pernikahan) atau tidak? Apakah jika si lelaki melihatnya dalam bentuk selain bentuk biasanya dan si wanita jin itu mengaku bahwa ini adalah dirinya, maka apakah pengakuannya itu bisa dijadikan sandaran, lalu dibolehhkan baginya menggaulinya atau tidak? Apakah si lelaki juga dibebankan untuk memberikan apa-apa yang menjadi kebiasaan mereka (kaum jin), seperti : tulang dan selainnya jika dirinya mampu ataukah ia tidak dibebankan?

Lalu beliau menjawab : “Tidak diperbolehkan menikah dengan wanita dari kalangan jin berdasarkan pemahaman dari dua ayat yang mulia didalam surat an Nahl :

وَاللّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا

Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri” (QS. An Nahl : 72)

Dan didalam surat ar Ruum :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri.” (QS. Ar-Ruum : 21)

Terhadap kedua ayat tersebut, para mufasir mengatakan bahwa makna dari “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri” adalah dari jenis, macam atau seperti fisik kalian, sebagaimana firman Allah SWT :

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ

Artinya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari jenismu sendiiri.” (QS. At Taubah : 128) —yaitu dari kalangan manusia, karena wanita-wanita yang dihalalkan untuk dinikahi adalah anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak dan anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan ibu. Termasuk dalam hal ini adalah wanita-wanita jauh sebagaimana yang difahami dari ayat di surat al Ahzab :

Artinya : “Dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.” (QS. Al Ahzab : 50) dan wanita-wanita selain mereka yang haram (dinikahi)… sebagaimana disebutkan didalam surat an Nisa tentang wanita-wanita yang haram (dinikahi), maka itu semua adalah tentang nasab sementara itu tidaklah ada nasab antara anak-anak Adam dan jin.

Dan inilah jawaban al Barizi. Jika engkau bertanya,”Bagaimana menurutmu tentang hal itu?” Aku mengatakan,”Bahwa yang aku yakini adalah diharamkan berdasarkan beberapa alasan berikut, diantaranya :

Berdasarkan kedua ayat terdahulu.
Apa yang diriwayatkan Harb al Karmani didalam “Masaa’il” nya dari Ahmad dan Ishaq, keduanya mengatakan : Muhammad bin Yahya al Qathi’i telah bercerita kepada kami : Basyar bin Umar telah bercerita kepada kami : Ibnu Luhai’ah telah bercerita kepada kami dari Yunus bin Yazid dari az Zuhriy berkata,”Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi jin.”. walaupun hadits ini mursal namun dikuatkan oleh berbagai perkataan para ulama. Terdapat riwayat dari al Hasan al Bashri, Qatadah, al Hakam bin ‘Uyainah Ishaq bin Rohuyah dan ‘Uqbah al ‘Asham tentang pelarangan itu. Al Jammal as Sijistani dari kalangan Hanafi didalam kitab “Munyah al Mufti ‘an al Fatwa as Sirajiyah” mengatakan bahwa tidak diperbolehkan pernikahan antara manusia dan jin, dan manusia air karena perbedaan jenis.
Bahwa pernikahan disyariatkan untuk ketenangan, ketentraman, kecintaan dan kasih sayang dan hal ini tidak terdapat pada jin bahkan yang ada pada mereka adalah sebaliknya yaitu permusuhan yang tidak hilang.
Tidak terdapat perizinan dari syariat tentang hal itu. Sesungguhnya Allah swt telah berfirman :

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء

Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (an nisa) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa : 3) An Nisaa adalah nama khusus untuk wanita-wanita dari kalangan Bani Adam sehingga selain mereka adalah haram. Karena asal dari persetubuhan adalah haram hingga terdapat dalil yang menghalalkannya.

Dan seorang yang merdeka dilarang menikahi budak wanita jika akan menghasilkan kemudharatan pada anak karena perbudakan… Maka apabila pernikahan dengan budak wanita adalah dilarang padahal dari jenis yang sama meskipun dari macam yang berbeda maka pernikahan dengan yang tidak sejenis tentunya lebih utama lagi. (al Asbah an Nazha’ir hal 457–459)

Wallahu A’lam.

 

Jawaban Lain:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Allah berfirman di surat Ar-Rahman:

لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلا جَانٌّ

“Para bidadari itu belum pernah tersentuh oleh manusia dan jin sebelumnya.” (QS. Ar-Rahman: 56)

Ayat ini menunjukkan bahwa jin juga menikah sebagaimana manusia menikah. Jin memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis, sebagaimana manusia juga memiliki hal yang sama.

Para ulama telah membahas, apakah mungkin terjadi pernikahan antara jin dan manusia?

As-Suyuthi rahimahullah dalam Laqathul Mirjan Hal. 53 menyebutkan beberapa riwayat dari ulama masa silam, bahwa di zaman mereka pernah terjadi pernikahan antara jin dan manusia, dan bahkan menghasilkan keturunan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah menceritakan:

وقد يتناكح الإنس والجن ويولد بينهما ولد، وهذا كثير معروف

“Dan pernah terjadi pernikahan antara manusia dan jin, bahkan terlahir keturunan. Dan ini banyak terjadi, satu hal yang ma’ruf.” (Majmu’ al-Fatawa, 19:39).

Akan tetapi, andaikan itu benar-benar pernah terjadi, sejatinya para ulama membencinya dan tidak menganjurkannya. Imam Malik rahimahullah pernah mengatakan,

لا يوجد دليل ينهى عن مناكحة الجن غير أني لا أستحبه، لأني أكره إذا وجدت امرأة حامل فقيل: من زوجك؟ قالت: من الجن، فيكثر الفساد

“Tidak terdapat dalil yang melarang menikah dengan jin. Hanya saja, aku tidak menyukainya. Karena saya membenci ketika ada wanita hamil, kemudian ketika ditanya, siapa suamimu? Dia akan menjawab: ‘Dari jin’. Sehingga akan terjadi banyak kerusakan.” (Akaam al-Mirjan, Hal. 67).

Ada juga sebagian ulama mengatakan bahwa pernikahan itu haram, dilarang.

Karena pernikahan beda jenis makhluk, bertentangan dengan ketentuan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا

“Allah telah menjadikan pasangan untuk kalian dari jenis kalian.” (QS. An-Nahl: 72).

Di ayat yang lain, Allah berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Rum: 21)

Di samping itu, andaikan terjadi pernikahan antara jin dan manusia, maka akan sulit untuk mewujudkan rasa cinta antar-mereka, untuk bersatu mewujudkan rumah tangga yang bahagia, karena beda jenis makhluk. Terlebih manusia tidak bisa melihat jin, sehingga hikmah adanya pernikahan seperti yang disebutkan dalam ayat, berupa menciptakan ketenangan, rasa kasih, dan sayang akan sulit bisa terwujud.

Hal yang terpenting, tidak selayaknya ada manusia yang berharap untuk menikah dengan jin, atau memiliki pasangan dari golongan jin. seindah-indahnya jin, manusia lebih indah. Sebagaimana yang Allah tegaskan di surat At-Tin:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)

Allahu a’lam

Referensi: Alam al-Jin wa As-Syayathin, Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dar an-Nafais, Hal. 28 – 29.

http://www.facebook.com/groups/kalamrisalah/permalink/439056089499365/?comment_id=439067572831550&offset=0&total_comments=18


9. HUKUM MENIKAH DENGAN JIN

8. HUKUM BERMAIN FACEBOOK

Pertanyaan:

Asssalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh .mohon di bahas juga, hukum face book, bagi muslim sendiri ,,apa hukumnya trims aprovenya…

Jawaban:

Kaidah Fiqih

الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها

“Hukum asal muamalah/sesrawung/transaksi adalah boleh/bisa, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya”

Hukum asal bergaul adalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. Ketika facebook digunakan untuk hal-hal positive, maka hukumnya adalah mubah. Akan tetapi bilamana facebook digunakan dengan sesuatu yang dilarang syar’i; selingkuh, bicara kotor, mencari akun pornography, maka hal tersebut bisa menjadikan keharamannya.


8. HUKUM BERMAIN FACEBOOK

Tuesday, January 29, 2013

7. SHALAT DI DALAM KA'BAH

Pertanyaan:
Salam
misalkan klau sholat didalam ka’bah,,sholatnya menghadap kmn?

Jawaban:

 Ibnu Umar r.a mengatakan bahwa apabila ia memasuki Ka’bah, maka ia berjalan ke arah jurusan muka pada waktu memasuki Kabah dan menjadikan pintu Ka’bah di jurusan punggung pada waktu berjalan. Sehingga, antara dirinya dan dinding yang ada di hadapannya dekat sekali kira-kira tiga hasta. Kemudian shalat menghadap tempat yang ditunjukkan oleh Bilal bahwa Rasulullah shalat di situ. Namun, siapa pun tidak apa-apa kalau dia shalat di dalam Ka’bah dengan menghadap ke jurusan mana pun dari Baitullah yang ia kehendaki.

[HR Bukhari]

باب الصلاةِ في الكعبةِ 1599ـ حدَّثنا أحمدُ بنُ محمدٍ أخبرَنا عبدُ اللَّهِ أخبرَنا موسى بنُ عُقبةَ عن نافعٍ عن ابنِ عمرَ رضيَ اللَّهُ عنهما «أنه كان إذا دخلَ الكعبةَ مَشى قِبَلَ الوَجهِ حِينَ يَدخُلُ ويَجعلُ البابَ قِبَلَ الظَّهرِ يَمشي حتى يكونَ بَينَهُ وبينَ الجِدارِ الذي قِبَلَ وَجههِ قريباً من ثلاثِ أذرُع فيُصلِّي،

265يَتَوخى المكانَ الذي أخبرَهُ بلالٌ أن رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلّم صلَّى فيه، وليسَ على أحدٍ بأسٌ أن يُصلِّيَ في أيِّ نواحي البيتِ شاء».

اسم الكتاب: فتح الباري شرح صحيح البخاري رقم الجزء: 4 رقم الصفحة: 265

قال الشّافعي: فيصلي في الكعبة النافلةَ والفريضةَ، وأَيَّ الكعبةِ اسَتَقْبَلَ الذي يصلِّي في جوفها، فهو قبلةٌ؛ كما يكون المصلِّي خارجاً منها، إذا استقبل بعَضَها ـ كان قبْلَتُه، ولو استقبل بابها، فلم يكُنْ بين يديه شيء من بنيانها يستره ـ لم يجزه.وكذلك إن صلى وراءَ ظَهْرِها، فلم يكُنْ بين يديه مِنْ بُنْيَانِها شيءٌ يستره ـ لم يجزه حينئذ؛ لأن بناء الكعبة ليس بين يديه شيءٌ يستره، وإنْ بَنَى فوقها ما يَسْتُرُ المصلِّي، فصلَّى فوقها ـ أجزأته صلاته، وإذا جاز أن يصلِّي الرجُلُ فيها نافلةً ـ جاز أن يصلي فريضةً، ولا موضعَ أَطْهَرُ منها، ولا أولى بالفضْل، إلا أَنَّا نُحِبُّ أن يصلِّي في الجماعة، والجماعةُ خارجٌ منها، فأما الصلاة الفائتةُ فالصلاة فيها أَحَبُّ إليَّ من الصلاة خارجاً منها، وكلُّ ما قرب منها كان أَحَبَّ إِليَّ مما بَعُدَ.

اسم الكتاب: الأم رقم الجزء: 1 رقم الصفحة: 197

Imam Syafi’i berkata :Maka seseorang (boleh) shalat fardhu maupun sunnat di dalam ka’bah, dan ke arah ka’bah manapun ia menghadap dimana ia shalat di dalamnya, maka itulah kiblatnya…dst

(التَّاسِعَةَ عَشْرَةَ) شَرَطَ أَصْحَابُنَا فِي صِحَّةِ الصَّلَاةِ فِي الْكَعْبَةِ أَنْ يَسْتَقْبِلَ جِدَارَهَا أَوْ بَابَهَا وَهُوَ مَرْدُودٌ أَوْ مَفْتُوحٌ بِشَرْطِ كَوْنِ عَتَبَتِهِ قَدْرَ ثُلُثَيْ ذِرَاعٍ تَقْرِيبًا هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَلَنَا 

اسم الكتاب: طرح التثريب رقم الجزء: 5 رقم الصفحة: 119

Wallaahu A’laamu Bis Showaab

http://www.facebook.com/groups/kalamrisalah/permalink/439832349421739/?comment_id=440301456041495&offset=0&total_comments=31


7. SHALAT DI DALAM KA'BAH

6. HUKUM KOPI LUAK

Pertanyaan:
‎.kotoran kan najis dn haram dmkan .!!
nah klo kopi luwak tu gmn ya,??????
. kangmba’yu , kasih pnjlsan ya ,.!
sukron

Jawaban:

 Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud Kopi Luwak adalah:“kopi yang berasal
dari buah kopi yang dimakan oleh luwak(paradoxarus hemaproditus) kemudian 
keluar bersama kotorannya dengan syarat:
1. Biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk
2. Dapat tumbuh jika ditanam kembali

Ketentuan Hukum:
1. Kopi luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah 
mutanajis(barang yang terkena najis), bukan najis
2. Kopi luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal
setelah disucikan
3. Mengonsumsi kopi luwak sebagaimana angka 2 hukumnya boleh
4. Memproduksi dan memperjualbelikan kopi luwak hukumnya boleh

Kaidah Fiqih Masalah ini

a. Asal makanan adalah halal

Hukum asal segala jenis makanan baik dari hewan maupun tumbuhan, dari laut
atau daratan adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannya.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat 
di bumi.” (QS. al-Baqoroh[2]:168)

b. Hukum itu berputar bersama sebabnya

“Hukum itu berputar bersama sebabnya, ada dan tidaknya”
Dalam masalah kopi luwak, alasan yang melarangnya adalah adanya najis.
Namun, ketika najis tersebut sudah hilang dan dibersihkan maka hukumnya 
menjadi suci.

c. Istihalah

“Benda najis apabila dibersihkan dengan pembersih apapun maka menjadi suci”
(Majmu’ Fatawa 21/474)

Tatkala biji kopi yang bercampur dengan kotoran tersebut memang sudah dibersihkan,
kenapa masih dipermasalahkan lagi?!

Ada juga beberapa masalah yang mirip dengan masalah ini seperti yang dikatakan
para ulama fiqih yang menerangkan jika ada hewan memakan biji tumbuhan kemudian 
dapat dikeluarkan perut, jika kondisinya tetap , sehingga ditanam dapat tumbuh,
maka tetap suci, tetapi harus disucikan bagian luarnya karena terkena najis.
Juga masalah telur yang ada dalam bangkai ayam, apakah najis atau tidak, pendapat
yang kuat adalah, apabila telur sudah berkulit dan terpisah maka hukumnya suci.

Saya pribadi mengikuti ulama yang berpendapat kopi luwak yang bercampur dengan
kotoran jika memang sudah dibersihkan, maka hukumnya suci dan halal
Jika anda ragu, tinggalkan saja. Namun barang siapa mengharamkan maka dia 
dituntut untuk mendatangkan dalil yang akurat. Bagaimana dengan anda?
Wallahu’alam

Dammam, 24/11/2012

sumber: LPPOM MUI,

Jawaban Lain:

 Wa’alaikum salam
Kopi luwak adalah kopi yang berasal dari kopi yang dimakan oleh luwak kemudian keluar bersama kotorannya, dalam literatur kitab-kitab fiqih dijelaskan :

“ jika ada biji yang dimakan oleh hewan kemudian dikeluarkan bersamaan dengan kotorannya, maka biji tersebut dihukumi mutanajis ( terkena najis ) yang masih bisa dimanfaatkan setelah disucikan bagian luarnya jika memang biji tersebut masih keras sekiranya jika ditanam masih bisa tumbuh, sedangkan jika biji tersebut sudah tidak keras lagi sekiranya jika ditanam tak akan bisa tumbuh, maka biji tersebut dihukumi najis “

Dari ketentuan hukum diatas dapat diambil kesimpulan jika setelah diadakan penelitian biji kopi yang keluar dari luak sudah tidak keras lagi maka dihukumi najis, dan jika keluar masih keras maka dihukumi mutanajis, dengan artian setelah disucikan bagian luarnya boleh dikonsumsi.

Namun setelah diadakan penelitian dari LP POM MUI yang dipaparkan dalam Rapat Komisi Fatwa MUI tanggal 14 Juli 2010 dinyatakan bahwa biji kopi yang keluar dari luak tidak berbah, dan masih tumbuh jika ditanam, berdasar penelitian ini bisa dipastikan bahwa biji kopi luak dihukumi mutanajis, yang setelah disucikan boleh dikonsumsi.Wallohu a’lam.

Referensi :
1. Al Majmu’, Juz : 2 Hal : 573
2. Nihayatul Muhtaj, Juz : 1 Hal : 240
3. Hasyiyah Asy Syarwani Ala Tuhfatul Muhtaj, Juz : 1 Hal : 294
4. I’anatut Tholibin, Juz : 1 Hal : 99
5. Nihayatuz Zain, Hal : 40

Ibarot :

Al Majmu’, Juz : 2 Hal : 573

السادسة : قال أصحابنا رحمهم الله إذا أكلت البهيمة حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابته باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن يجب غسل ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاءا لها فمما تغير إلى الفساد فصار كما لو ابتلع نواة وخرجت فإن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابته قد زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضي حسين والمتولي والبغوي وغيرهم

Nihayatul Muhtaj, Juz : 1 Hal : 240

وقيء: اتفاقا وهو الراجع بعد الوصول إلى المعدة ولو ماء وإن لم يتغير كما قالاه، والمراد بذلك وصوله لما جاوز مخرج الحرف الباطن من ذلك لأنه باطن فيما يظهر.
نعم لو رجع منه حب صحيح صلابته باقية بحيث لو زرع نبت كان متنجسا لا نجسا، ويحمل كلام من أطلق نجاسته على ما إذا لم يبق فيه تلك القوة.
ومن أطلق كونه متنجسا على بقائها فيه كما في نظيره من الروث، وقياسه في البيض لو خرج منه صحيحا بعد ابتلاعه بحيث تكون فيه قوة خروج الفرخ أن يكون متنجسا لا نجسا.

Hasyiyah Asy Syarwani Ala Tuhfatul Muhtaj, Juz : 1 Hal : 294

قول المتن (وقيء) وهو الراجع بعد الوصول إلى المعدة ولو ماء وإن لم يتغير كما قالاه والمراد بذلك وصوله لما جاوز مخرج الحرف الباطن؛ لأنه باطن فيما يظهر نعم لو رجع منه حب صحيح صلابته باقية بحيث لو زرع نبت كان متنجسا لا نجسا وقياسه في البيض لو خرج منه صحيحا بعد ابتلاعه بحيث تكون فيه قوة خروج الفرخ أن يكون متنجسا لا نجسا

I’anatut Tholibin, Juz : 1 Hal : 99

قول المتن (وقيء) وهو الراجع بعد الوصول إلى المعدة ولو ماء وإن لم يتغير كما قالاه والمراد بذلك وصوله لما جاوز مخرج الحرف الباطن؛ لأنه باطن فيما يظهر نعم لو رجع منه حب صحيح صلابته باقية بحيث لو زرع نبت كان متنجسا لا نجسا وقياسه في البيض لو خرج منه صحيحا بعد ابتلاعه بحيث تكون فيه قوة خروج الفرخ أن يكون متنجسا لا نجسا

Nihayatuz Zain, Hal : 40

وقيء معدة: ولو بلا تغير والمراد بذلك الراجع بعد الوصول إلى ما جاوز مخرج الحرف الباطن وهو الحاء المهملة نعم لو رجع منه حب صحيح صلابته باقية بحيث لو زرع نبت كان متنجسا لا نجسا وكذا لو ابتلع بيضا بقشره فتقيأه كما هو فإن كان بحيث لو حضن لفرخ فهو متنجس يطهر بالغسل وإلا فنجس

Oleh Siroj Munir di Fiqh Kontemporer
http://fiqhkontemporer99.blogspot.com/2012/07/kopi-luwak.html


6. HUKUM KOPI LUAK