QAWAID AL-FIQHIYAH
Januari 27, 2010 oleh Wahid Hasyim
BAB I
PENDAHULUAN
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.
Dalam makalah ini tidak akan membahas keseluruhan kaidah tersebut, akan tetapi hanya akan membahas enam kaidah saja, diantaranya:
- الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)
- الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
- الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
- اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز (Apabila Suatu Kalimat Tidak Bisa Diartikan Secara Hakiki, Maka Dapat Diartikan Secara Majazi)
- الاصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمن (Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Yang Terdekat)
- اذا تعذر الاصل يصار الى البدل ( Apabila Sukar Menggunakan Hukum Asal Maka Bisa Menjadikan Penggantinya Sebagai Hukum)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kaidah الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)
A. Pengertian
kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam relasi sosial maupun indifidualnya adalah keterlepasannya dari tanggung jawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu belum pasti. Secara bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmah diartikan sebagai tanggung jawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak indifidu dengan hak indifidu lainnya. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa, pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai dengan kondisi asal.
Kontruksi kaidah ini berasal dari hadis Nabi saw, yang berbunyi:
البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه . رواه و مسلم و أبو داود و الترمذى والنسائ و ابن ماجه و أحمد
Mendatangkan bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah
wajib atas orang yang didakwa. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).[1]B. Indikasi Dalil
Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa (mudda’a alaih) tidak dibenarkan selama pendakwa tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah terdakwa beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum asal, terdakwa adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.
Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa didasarkan pada argumen pokok bahwa dia adalah pihak yang “meniadakan” (menafikan tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan suatu hal tidak dapat dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa hanya diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus mendatangkan saksi dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang ingin mendapat legitimasi hukum atas dakwaannya.
Kewajiban mendatangkan saksi bagi pendakwa dan keharusan bersumpah bagi terdakwa diatas, berlaku selama tidak bertentangan denagn kenyataan yang tampak (al-zhahir). Al-zhahir, dalam persoalan ini bisa dilihat atau difahami dari makna eksplisit maupun implisit. Misalkan ada seorang lelaki bernama Zaini yang mendakwa Aisyah yang telah dewasa, bahwa orang tua Aisyah telah menikahkannya dengan Zaini sebelum meminta izin kepada Aisyah. Pada awalnya, Zaini memang telah meminang Aisyah dan pinangan itu diterima oleh orang tua Aisyah, bahkan orang tuanya langsung mengikatnya melalui tali pernikahan. Ketika orang tua Aisyah menyampaikan perihal pernikahannya itu, wanita pemalu ini hanya diam saja. Padahal diamnya Aisyah bukan karena ia menerima pernikahan sepihak itu, melainkan lebih disebabkan oleh karakter pribadinya yang memang pendiam.
Tak lama berselang, datanglah Zaini yang mendakwa kesediaan Aisyah untuk menjadi istrinya. Padahal hati Aisya sama sekali tidak tertarik pada pemuda ini. Karena itulah, Aisyah akhirnya memberanikan diri untuk menjawab sebagai dakwaan atas dakwaan Zaini. Dia secara tegas mengatakan: “Aku menolaknya”. Nah, dalam kasus ini, yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah. Sebab, sekalipuin Zaini berpegang pada hukum asal berupa tiadanya penolakan Aisyah, namun karena ucapan Aisyah sesuai dengan realitas yang tampak (zhahir), yakni, bahwa diri Aisyah belum dimiliki oleh siapapun yang juga merupakan hukum asal, maka yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah. [2]
2. Kaidah الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
Sub-kaidah ini menandaskan, bahwa, pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai tidak memiliki hak apa-apa, sebelum hak tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah:
a.Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada pemilik modal, bahwa ia belum memperoleh keuntungan atau sudah mendapat keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu yang dibenarkan karena dari awal adanya ikatan mudlarabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedang keuntungan yang diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).
b.Seseorang makan makanan milik orang lain, ia mengatakan bahwa pemiliknya telah mengizinkan, padahal pemilik makanan itu mengingkarinya. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum yang asal, makan makanan orang lain itu tidak boleh.
c.Usman berhutang kepada Umar dan mengaku telah membayar, sebaliknya Umar mengatakan bahwa, hutang itu belum dilunasi. Dalam hal ini keingkaran Umar yang dibenarkan, sebab menurut asalnya, memang belum adanya pelunasan. [3]
3. Kaidah الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
Definisi
Dalam bahasa Arab dikenal istilah haqiqah dan majaz, yang memiliki kemiripan dengan makna hakiki dan makna kiasan dalam bahasa Indonesia, walaupun tidak sama persis. Haqiqah adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai dengan makna aslinya tanpa ada pembiasaan. Sedangkan majaz adalah kata-kata yang mempunyai arti yang sudah membias atau ambigu (makna kedua). Tema ini akan sangat penting untuk dikaji karena berkaitan dengan hukum formal, terutama bagi mereka yang tahu betul tentang bahasa Arab, walaupun tema kita ini tidak berkutat pada orang Arab atau yang berbahasa Arab saja.
Dalam bahasa Arab, kata-kata selamanya tidak akan berubah dari makna haqiqah menjadi makna majaz, selama tidak ada hal-hal yang menuntut kearah perubahan itu. Diantara hal-hal yang mengantarkan sebuah kata pada makna majaz-nya adalah apabila hati seseorang akan lebih cepat menangkap makna majaz dibandingkan makna haqiqahnya. Contoh kemudahan penangkapan makna majaz adalah seperti halnya orang yang bersumpah tidak akan makan pohon. Ucapan seperti ini secara spontan akan dapat dipahami sesuai dengan makna majaz-nya, yakni memakan buah yang dihasilkan oleh pohon itu. Sehingga orang tersebut tidak akan dianggap melanggar sumpah kecuali memakan buahnya.
Sedangkan contoh-contoh pemaknaan kata yang belum membias ke makna majaz (masih dalam lingkup haqiqah) adalah sebagai berikut:
- Orang yang besumpah tidak akan membeli dan tidak akan melakukan penjualan apapun. Dengan sumpahnya ini, ia tidak akan dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah ketika mewakilkan penjualan dan pembeliannya itu pada orang lain. Menurut Al Suyuthi, hal ini karena ucapan tersebut diberlakukan sesuai dengan makna haqiqah-nya, yaitu penjualan dan pembelian yang hanya dilakukan oleh diri sendiri.
- Ungkapan seseorang yang akan mewakafkan hartanya pada orang yang hafal Al Quran, maka ucapan ini tidak memasukkan orang yang hafal Al Quran dan pada akhirnya lupa.karena orang yang pernah hafal Al Quran lalu lupa, tidak termasuk dalam “wilayah kata” orang hafal dalam makna hakikinya, kecuali harus merambah pada tinjauan majaz, dalam hal ini adalah majaz mursal.[4]
Hakikat adalah pendapat mu’tabar yang diunggulkan dan merupakan asal, sedangkan majaz merupakan cabang dari hakikat, dan posisi majaz berada pada urutan kedua setelah hakikat. Sebagai contoh makna hakiki pada lafad nikah menurut Abu Hanifah adalah bersetubuh, bukan bermakna majazi yaitu akad, berdasarkan dalil Al Quran yang berbunyi: “Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. Al Nisa’: 22). namun jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua.[5] kaidah ini mempunyai beberapa contoh antara lain:
- Seseorang bersumpah tidak makan pohon, sumpah tersebut tidak berarti ia makan batang kayunya, tetapi menurut makna majaz (kiasan) adalah makan buahnya.
- Seseorang yang berjanji tidak akan menginjakkan telapak kakinya dirumah itu, maksud dari sumpah itu menurut kebiasaan adalah masuk. Seandainya dia meletakkan telapak kakinya ke dalam rumah itu tanpa memasukkan badannya, maka dia tidak termasuk melanggar sumpah. Dan jika dia masuk kedalam rumah itu dengan berkendaraan meskipun dia tidak meletakkan telapak kakinya, maka dia dianggap melanggar sumpahnya.[6]
(Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Adalah Waktu Yang Terdekat)
kaidah ini menandaskan, bahwa, apabila terjadi perbedaan waktu pada perkara baru, maka harus ditentukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa sekarang, yaitu; mengambil masa yang paling dekat, dan tidak memilih masa yang lalu pada suatu peristiwa yang masih diragukan kapan terjadinya. Karena banyak terjadi perbedaan hukum pada suatu peristiwa disebabkan perbedaan tanggal peristiwa itu, ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat. Mengambil masa yang paling dekat ini disepakati karena dilihat dari dua aspek; pertama, wujudnya peristiwa tersebut, kedua, sangkaan yang kuat peristiwa tersebut baru saja terjadi.[7]
- Seorang yang wudlu dari air sumur, kemudian dia sholat, setelah sholat dia melihat bangkai tikus didalam sumur itumak dia tidak wajib mengqodho sholatnya, kecuali dia yakin bahwa dia wudlu dengan air yang najis.
- Seseorang melihat air mani dikainnya dan dia tidak ingat kapan dia bermimpi. Maka dia harus mengulangi sholatnya yang telah dilakukan sejak bangun dari tidurnya yang terakhir.
- Team dokter berhasil memisahkan bayi kembar siam. Beberapa hari kemudian salah seoprang bayi kembar itu mati, dalam kejadian seperti ini team dokter tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas kematian itu. Karena kemungkinan sekali kematian itu lantaran faktor-faktor lain yang dekat dengan saat kematian.
- Seorang pembeli pesawat TV menggugat penjualnya, lantaran setiba dirumah TV rusak tidak hidup. Gugatan pembeli tidak dapat diterima, karena menurut asalnya pesawat TV itu terjual dalam keadaan baik, dan kemungkinan besar, kerusakan terjadi ketika dalam perjalanan kerumahnya. [8]
A. Dasar-Dasar Kaidah
Kaidah ini mempunyai beberapa dalil diantaranya :
- Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 184.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin.- Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 196
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ
بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا
رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ
حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
apabila kamu Telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.- Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 238-239
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ
الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ
رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا
لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.. Jika kamu dalam
keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah
(shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.- Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا
أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.- Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 43
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu.- Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 101[9]
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ
يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.B. Indikasi Dalil
Dalil-dalil yang terkandung dalam kaidah ini memberi pengertian bahwa; suatu hukum yang harus dilaksanakan, namun jika menemui jalan buntu dan tidak mungkin untuk melakukannya atau terhalang oleh perkara lain, maka bisa beralih menggunakan hukum lain sebagai pengganti, karena menjadikan hukum lain sebagai pengganti hanya diperbolehkan ketika hukum asal tidak dapat dilakukan.[10] Sebagaimana contoh dibawah ini:
- Seseorang mengambil barang orang lain, dan ia berniat mengembalikan, namun barang tersebut hilang, maka ia dapat mengembalikan pengganti yang mirip dengan barang yang diambil.
- Seseorang yang menjalani eksekusi karena memotong telinga kanan orang lain, maka telinga kanannya harus dipotong sebagai padanannya, tetapi jika ia tidak mempunyai telinga kanan, hanya telinga kiri, maka pemotongan telinga kiri sudah dianggap cukup.
BAB III
PENUTUP
A. SimpulanDemikianlah, dengan memahami berbagai macam perbedaan yang telah kita paparkan dimuka dapat kami simpulkan:
- Sebenarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kawajiban melakukan dan tidak melakukan sesuatu.
- Sebenarnya pada diri manusia tidak hak apa-apa terhadap terhadap sesamanya, dan seseorang tidak dapat menuduh orang lain kecuali ada indikasi kuat dan jelas.
- Bila suatu ucapan bisa diartikan secara hakiki dan bisa jadi pula diartikan secara majazi, maka arti hakiki yang harus dipegang.
- Jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua
- Ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat.
- Ketika hukum asal tidak bisa difungsikan maka boleh menggunakan hukum pengganti sebagai padanannya.
No comments:
Post a Comment