Wednesday, August 1, 2012
Jilbab Galau
“Kalau gak mau berjilbab, lalu kenapa kamu beragama Islam?”
Uh, kenapa ucapan Ratna masih terngiang-ngiang dalam ingatanku. Lancang sekali anak itu. Meski begini aku masih punya iman. Iman yang tak akan pernah aku jual pada siapapun dan dengan apapun. Tapi bodoh, kenapa tadi aku hanya diam saat dia berkata begitu? Besok kalau ketemu akan kubalas kau. Karena aku sudah punya jawabannya. Yaitu, Iman.
***
“Kalau kau punya iman, lalu kenapa kau tak juga sadar?”
“Sadar?sadar apa maksudmu?”Tanyaku tak paham pada perkataan Ratna.
“Ah, sudahlah. Kamu tak akan paham”
Ratna pergi begitu saja dari hadapanku. Aku tak mengerti maksud dari perkataannya. Sadar? Sadar apa?
Meski kepalanya sudah tertutup, tapi sifat keras kepalanya masih belum hilang. Bahkan, masih mending diriku yang walau tak memakai jilbab tapi tak pernah membentak orang seperti itu.
Tapi tiba-tiba aku merasa sangat kesepian. Aku dan Ratna sudah biasa bareng kemana-mana. Saat dikantin, di kelas bahkan saat pulang sekolah kami sering pergi bersama.tak ayal, aku merasa kesepian saat ia pergi. Dia bilang, dia sudah berhijrah. Ah aku tak paham maksudnya.
Ratna yang dulu sangat supel, tomboy dan apa adanya. Tiba-tiba sekarang berubah total. Pagi itu dia memang terlihat lebih cantik dari biasanya. Memakai kerudung dan tentu saja baju dan rok OSIS panjang. Aku melongo melihatnya pagi itu. Dia tidak pernah cerita apa-apa sebelumnya dan tiba-tiba saja dia merubah penampilan seperti itu?
Sejak dia berubah, aku dan dia tak sedekat dulu lagi. Entah kenapa, aku merasa risih saat disampingnya. Dia sempat mengajakku untuk mengikuti jejaknya tapi kutolak dengan candaan.
“Lalu koleksi celana dan kaosku bagaimana?” Tanyaku waktu itu.
“Itu kan gampang, celanamu berikan saja pada Reno adikmu! Diakan hampir setinggi kamu. Dan kaos masih bisa dipakai kok tapi dirumah aja” jawab Ratna memberi saran
“Aduh, ada-ada saja kamu Rat. Reno anaknya gengsian mana mungkin dia mau memakai baju atau celana dari orang lain. Trus kaosku kan banyak Rat masak cuma mau dipake di rumah aja?”
Ratna seolah tak puas. Ia terus mengajakku untuk memakai jilbab.
“Ayolah Sis! Semua bagian dari tubuh kita itu aurat kecuali telapak tangan dan wajah kita. Dan sebagai seorang wanita Muslim kita harus bisa menjaga aurat kita!” jawabnya.
“sudahlah Rat, malah ceramah kayak Mamah Dedeh kamu”
“aku serius Sis. Jika kamu mau berubah, memakai jilbab akan lebih menenangkan hatimu”
aku hanya diam. Dalam hati aku sungguh ingin marah. Sebagai sahabat kenapa kamu maksa aku kayak gitu Rat?aku sedih kamu gak seperti dulu lagi. Sekarang kamu gak mau pergi ke toko kaset atau sekedar pergi dihari minggu pun kamu juga menolak.
Teet…
Tiba-tiba bel masuk membuyarkan lamunanku. Ratna muncul dari balik pintu dan langsung duduk disebelahku. Meski tak akrab lagi, tapi kami masih teman sebangku. Atau lebih tepatnya meski kami teman sebangku tapi kami tak begitu akrab lagi. Ah, fikiranku tak focus. Bu Susi yang ceramah didepan tak kubegitu kuperhatikan. Kulihat Ratna serius sekali mendengarkan Bu susi. Tapi dia sama sekali tak menyapaku. Sungguh, tak mengenakkan sekali.
Kurasa Ratna benar-benar marah. Siang ini ia tak pulang bersamaku seperti biasanya. Sebenarnya, yang berhak marah itu aku apa dia?
***
jika prang bilabg dalam setiap hubungan pasti selalu ada konflik, maka aku membenarkannya. Entah itu hubungan suami istri ataupun persahabatan. Saat ini konflik sedang menyerang hubungan persahabatanku dengan Ratna.
Apa aku harus rela memakai kerudung supaya Ratna mau berbaikan lagi? Tapi, naïf sekali itu.
Pandanganku terarah pada lemari pakaian . iseng-iseng kubuka dan ternyata banyak juga koleksi kaos, belel dan juga jaketku. Kaosku terlalu banyak untuk hanya kupakai di rumah. Ratna, ah Ratna. Lalu, kulihat koleksi kerudungku. 1. ternyata hanya satu kerudungku. Dan sepertinya itu kubeli lebaran tahun lalu. Ada rasa aneh yang menyusup hatiku. Aneh juga seorang wanita Muslim hanya punya 1 kerudung.
Ku lihat diriku di cermin lalu tanganku seolah spontan meraih kerudung itu dan mengenakannya dikepalaku. Hmmm… aku tersenyum sendiri. Ternyata cantik juga diriku . entah karena apa tanganku seolah reflek mengambil rok panjang yang juga hanya satu-satunya yang kumiliki dan langsung mengenakannya. Sekarang tanganku meraih kaos panjang. Dan, kulihat silurt indah dihadapanku. Hey, itu diriku Sista Yualaiti. Aku semakin lam mematut diri di depan cermin dan masih tersenyum-senyum sendiri. Iya, memang kurasakan kenyamanan dalam balutan busana ini. Ratna benar. Tapi aku masih ragu . hatiku, sikapku dan sifatku masih jauh dari seorang wanita Muslimah.
***
Ratna tersenyum saat kuceritakn tentang “Penemuan Diri”ku tadi malam. Dia begitu antusias mendengar ceritaku. Dia berjanji akan membantu semampunya agar aku bisa yakin untuk memakai jilbab. Dia juga menceritakan bagaimana jalannya hingga akhirnya ia memakai jilbab.
“Kamu masih ingat Ka Ana kan yang kuliah diluar Ausy?”
“ka Ana anaknya Pak Juli sebelah rumahmu itu?” tanyaku
“Iya”
“ada pa dengan Ka Ana?”tanyaku penasaran.
“Saat pulang bulan lalu kami dikagetkan dengan kepulangan Ka Ana yang tidak biasanya. Bayangin Sis, ka Ana pake jilbab”
Aku masih antusias mendengar cerita Ratna.
“Ceritanya panjang Sis. Tapi Ka Ana bilang disana dia bertemu dengan dengan seorang Muslimah dari Turki. Pendek ceritanya Muslimah itu yang membawa Ka Ana menjemput hidayah Allah.
Cerita Ratna menyentuh kalbuku. Ternyata hidayah Tuhan dating dari mana saja. Jika Dia berkehendak maka segalanya begitu mudah.
“Apa kamu sudah mantap sekarang?”Tanya Ratna membuyarkan lamunanku.
Kubalas dengan senyum. Ratna paham maksudku. Ia memelukku seolah memberi keyakinan padaku.
Jilbab hijau Ratna melambai-lambai tertiup bayu sore…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment