Thursday, August 2, 2012

Ma'rifat Dzun Al-Mishri


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Riwayat Hidup Dzun Al-Mishri
Dzun An Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsaubani bin Ibrahim. Waliyullah yang dibanggakan oleh Mesir ini lahir di Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj), dataran tinggi Mesir, pada trahun 180H./796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856 M. Karena ia berasal dari Mesir, maka ia dikenal dengan sebutan Dzunnun Al-Mishri, Dzunnun Si Orang Mesir.[1]
Julukan Dzun An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya adalah, "Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata "Anakku telah dimangsa buaya". Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata "Ya Allah... keluarkan buaya itu". Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT".

Asal mula Al-Misri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalanan hidupnya Al-Misri selalu berpindah dari suatu tempat ketempat lain. Ia pernah menjelajah berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al_Maqdi, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, pegunungan Libanon, Anthokiah, dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis dan guru sufi sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnuya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib Al-Nakha’I. gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawwuf.[2]
Sebelum Al-Misri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberi tafsiran isyarat-isyarat tasawuf. Ia merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bersifat sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutkan  sebagai peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Misri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanianya itulah yang menyebabkan harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, ia dipanggil  menghadap Khalifah Al-Mutawakkil, namun ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali siakui secar umum tatkala ia meninggalkannya dunia yang fana ini.
Ketika ia masih hidup, orang-orang tidak mengenalnya sebagai orang yang dekat dengan Allah. Ia malah lebih banyak dicela dan dicemooh orang karena dianggap kafir, ahli bid’ah, dan orang murtad. Ia tidak pernah membalas semua tuduhan itu dengan kemarah-an atau serangan balik. Ia bahkan menunjuk-kan dirinya seakan-akan ia mengakui seluruh celaan itu. Selama ia hidup, orang-orang tidak mengetahui bahwa Dzunnun adalah salah seorang di antara waliyullah, kekasih Allah. Orang mengetahui kedekatannya dengan Tuhan setelah Dzunnun meninggal dunia.
Menurut Al-Hujwiri, pada malam kematian Dzunnun, tujuh puluh orang bermimpi melihat Rasulullah saw. Dalam mimpi itu, Nabi bersabda, “Aku datang menemui Dzunnun, sang wali Allah.” Sesudah kematian-nya, konon di atas keningnya tertulis: Inilah kekasih Tuhan, yang mati karena mencintai Tuhan, dan dibunuh oleh Tuhan.
Masih menurut Al-Hujwiri, pada saat penguburan Dzunnun, burung-burung di angkasa berkumpul di atas kerandanya sambil mengembangkan sayap mereka seakan-akan ingin melindungi jenazahnya. Pada saat itulah orang-orang Mesir menyadari kekeliruan mereka dalam memperlakukan Dzunnun selama ini.
  1. Ajaran Dzun Al-Misri Mengenai Ma’rifat
Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ‘ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa kalangan sufi membedakan jalan sufistik kedalam tiga macam: (1) makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri; tokohnya adalah Hasan al-Basri); (2) mahabbah (jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri, dengan tokohnya Rabi’ah al-Adawiyah); (3) ma’rifah (jalan pengetahuan).
Menurutnya, ma’rifah adalah fadl (anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Tuhannya, maka semakin pula ia dekat, khusyu’ dan mencintai-Nya. Ia termasuk meyakini bahwa ma’rifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat dengan syari’at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang ‘arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan.
Hakikat ma’rifat bagi Dzun al-Nun al-Misri adalah al-Haq itu sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang ‘arif dengan anugerah dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan ma’rifat, seorang ‘arif akan mendapati penyingkapan hijab (kasyf al-hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerak-gerik sang ‘arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudia dianalisis Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-suffah fi Al-Islam, Ia membagi ma’rifat menjadi tiga macam: (1) ma’rifat al-tauhid, yakni doktrin bahwa seorang mu’min bisa mengenal Tuhannya karena memang demikian ajaran yang telah dia terima, (2) ma’rifat al-hujjah wa al-bayan, yakni ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau argument penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya ma’rifat tersebut; (3) ma’rifat sifat al-wahdaniyah wa al-fardhiyah, yakni ma’rifat kaum muqarrabin yang mencari Tuhannya dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Tuhan dengan manusia). Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal.
Al-Misri berhasil memperkenalkan corak hidup tentang ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Ia membedakan antara ma’rifat suffiah dengan ma’rifat aqliyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Menurut Al-Misri, ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Teori-teori nya itu seperti teori gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu dianggap sebagai jembatan menuju teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan-pandangan Al-Misri tentang ma’rifat pada mulanya sulit diterima kalangan teolog sehingga ia dianggap sebagai seorang zindiq dan tangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat ma’rifat:
1.      Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mukallimin, dan ahli balaghah, tetapi ma’rifat terhadap keesaan tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Hal ini karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hambanya yang lain.
2.      Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ia merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Al-Misri di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan lewat dirinya.
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
1.      Pengetahuan untuk seluruh Muslim
2.      Pengetahuan khusus untuk para filosof dan Ulama
3.      Pengetahuan  khusus untuk para Wali Allah
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan ma’rifat, tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan jenis ketiga baru disebut dengan ma’rifat. Dari ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya’lah yang paling tinggi tingkatannya, karena mereka mencapai  tingkatan musyahadah, sebaliknya para Ulama dan para filosof tidak dapat mencapai tingkatan maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Misri mempunyai sistematika sendiri tentang jalan menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdu Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagai beriktu:
1.      Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu , Al-Misri menjawab, “Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenalnya.”
2.      Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah adalah jalan yang harus dimulai dengan cara ikhlas da benar, dan thariq Al-ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena merupakan utusan Allah semata.
3.      Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan melayang diatas kekuatan ma’rifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai maqam Al-ma’rifat, Al-Misri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat dialam semesta. Suatu ungkapan puitisnya berbunyi:
….”Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah daku, ya Rabbi, dalam mencari rida-Mu dengan ridaku dengan semangat. Engkau dalam kecintaan-mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Ketika ditanya mengenai cara memperoleh ma’rifat, Al-Misri menjawab, “Aku ma’rifat pada Tuhanku sebab Tuhanku, andaikata bukan karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan ma’rifat kepada-Nya.”
غرفت ربي بربي ولو لا ربي لما عرفت ربي
Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". Ungkapannya itu menunjukkan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian Tuhan, rahmat, dan nikmat-Nya. "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".
Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri adalah sebagai berikut:
1.      Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
2.      Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
3.      Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.
Paparan Al-Misri di atas menunjukkan bahwa seorang yang  arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun, dan semakin dekat menyatu kepada-Nya.


[1] tn, “Dzun Nun Al Misri”, on line, http://www.google.html.search=dzun+nun+almisri.com, diakses tanggal 27 November 2008.
[2] Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), 123.

No comments:

Post a Comment