Ternyata silang sengkarut penuh prasangka HANYA GARA GARA POLITIK yang ujung ujungnya = KEKUASAAN
= Sabdapalon adalah tokoh legendaris yang
dianggap sebagai pandita dan penasehat
Brawijaya V, penguasa terakhir yang
beragama Buddha dari kerajaan
Majapahit di Jawa.
Namanya disebut-sebut dalam Serat Darmagandhul, suatu tembang macapat kesusastraan Jawa Baru berbahasa Jawa ngoko. Disebutkan bahwa Sabdapalon tidak bisa menerima sewaktu Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari Walisongo (walaupun pada umumnya dalam sumber-sumber sejarah dinyatakan bahwa Brawijaya digulingkan oleh Girindrawardhana). Ia lalu bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, saat korupsi merajalela dan bencana melanda, untuk menyapu Islam dari Jawa dan mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Jawa (dalam Darmagandhul, agama orang Jawa disebut
agama Buda, yang dahulu Buda berdampingan dengan Hindu). Serat Damarwulan dan Serat Blambangan juga mengisahkan tokoh ini.
Dalam pengertian yang lebih mendalam,
kedatangan Sabdapalon dalam arti
sebenarnya adalah mengembalikan kejayaan
nusantara dari mereka yang lupa akan
kebajikan, bukan semata pengembalian dari
sudut agama. Mengembalikan jati diri asli
nusantara yang MERASA TERJAJAH SECARA POLITIK DAN BUDAYA dari negeri asing : Arab, Cina, India,
dan kolonial-kolonial Eropa.
Pada tahun 1978, Gunung Semeru meletus dan
membuat sebagian orang percaya atas
ramalan Sabdapalon tersebut.
Tokoh Sabdapalon dihormati di kalangan
revivalis Hindu di Jawa serta di kalangan aliran
tertentu penghayat kejawen.
Sabdapalon seringkali dikaitkan dengan satu
tokoh lain, Nayagenggong, sesama penasehat
Brawijaya V. Sebenarnya tidak jelas apakah
kedua tokoh ini orang yang sama atau
berbeda. Ada yang berpendapat bahwa
keduanya merupakan penggambaran dua
pribadi yang berbeda pada satu tokoh.
Sisi kelam politik sumber sengketa ini juga bisa dilacak pada kematian tokoh kontroversial syekh siti jenar
Sekedar menambah pengetahuan kita
tentang sejarah, berikut kami sampaikan : 7
Versi Kematian Syekh Siti Jenar.
Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti
Jenar memang cukup menarik. Sebagaimana
banyaknya versi yang menjelaskan tentang
asal-usul dan sosol Syekh Siti Jenar, maka
demikian pula halnya tentang varian versi yang
menerangkan tentang proses kematiannya.
Secara umum kesamaan yang diperlihatkan
oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh
Siti Jenar hanyalah yang berkaitan dengan
masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam
Demak di bawah pemerintahan Raden Fatah
sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.
Tentu hal ini juga masih mengecualikan sebagian
kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa
wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa
Sultan Trenggono. Sedangkan yang berkaitan
dengan proses kematiannya, berbagai sumber
yang ada memberikan penjelasan yang
berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak
terdapat beberapa asumsi (tujuh versi)
mengenai proses meninggalnya Syekh Siti
Jenar.
Versi Pertama Bahwa Syekh Siti Jenar
wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak
Versi Pertama Bahwa Syekh Siti Jenar
wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak,
Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali
Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang.
Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung
adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di
alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini
mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki
Sosrowidjojo.
Versi Kedua Syekh Siti Jenar
dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati.
Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan
Gunung Jati sendiri, yang pelaksanaannya di
Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti
Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan
Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri,
kemudian dimakamkan di Graksan, yang
kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten.
Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan
Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon
Suryaatmana dan T.D Sudjana (salin bahasa
pada tahun 1994). Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41),
Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan
Kalijaga. Pada awalnya mengucur darar
berwarna merah, kemudian berubah menjadi
putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata: “Tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar
naik ke surga seiring dengan kata-kata: ”Jika
ada seorang manusia yang percaya kepada
kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, dia
akan kecewa, karena dia tidak akan
memperoleh apa yang dia inginkan”. Untuk
kisah yang terdapat dalam versi pertama dan
kedua masih memiliki kelanjutan yang hampir
sama. Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk
Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah
Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa
tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun
yang tentu saja masih terlalu dini untuk
kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa
ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba,
maka pemakaman dilakukan esok paginya agar
bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat
untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil
melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika
waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke
masjid. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang
sangat harum, seperti bau bunga Kasturi.
Selesai shalat para santri diperintahkan untuk
meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja
yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga
jenazah Syekh Siti Jenar. Bau harum terus
menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya
mengajak ulama lainnya untuk membuka peti
jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu
terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan
cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna
pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan
dari bawah peti memancarkan sinar yang amat
terang, bagaikan siang hari. Dengan gugup,
para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu
bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa
nyawa itu bergantian hingga ujung jari.
Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke
dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidak
berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.
Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk
Walisanga dikisahkan bahwa para ulama telah
berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti
dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu
dimakamkan mereka di tempat yang
dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai
anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkan
keesokan harinya kepada masyarakat untuk
mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar
adalah sesat. Digantinya jenazah Syekh Siti
Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata
diketahui oleh salah seorang muridnya bernama
Ki Luntang. Dia datang ke Demak untuk
menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan
sengit antara Ki Luntang dengan para Wali yang
berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia
mengambil kematiannya, dia menyindir
kelicikan para Wali dengan mengatakan
(Sofwan, 2000: 221): “…luh ta payo totonen
derengsun manthuk, yen wus mulih salinen,
bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase,
luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu
sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun
gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh reh
tanah jawa tan ana…” …nah silahkan lihat
diriku yang hendak menjemput kematian. Jika
nanti aku telah mati, kau boleh mengganti
jasadku sekehendakmu, kadal, kodok, rase,
luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh.
Tapi, jika hendak mengganti dengan gajah, kau
pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak
ada…” Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun
mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi
untuk menutup jalan hidup menuju pintu
kematian.
Versi Ketiga Bahwa Syekh Siti Jenar
meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh
Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati
tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian
riwayat menyebutkan bahwa vonis yang
diberikan Sunan Giri atas usulan Sunan Kalijaga
(Hasyim, 1987: 47). Dikisahkan bahwa Syekh
Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang
banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-
ajarannya dipandang sesat dan keluar dari
ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang
keselarasan antara Tuhan, manusia dan alam
(Hariwijaya, 2006: 41-42). Hubungan manusia
dengan Tuhannya diungkapkan dengan
“Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga
Manjing Warangka”. Hubungan manusia dengan
alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising
Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan
“Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara
pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan
Al-kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia
Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir
batin, jiwa-raga, intelektual spiritual, dan
kepala dadanya. Konsep manunggaling kawula
gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan
“uninong aning unong”, saat sepi senyap,
hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan
dan zat manusia adalah satu, manusia ada
dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.
Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah
mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan
bermusyawarah dengan para Wali, memutuskan
bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat.
Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang
baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti
Jenar dijatuhi hukuman mati. Syekh Siti Jenar
masih diberi kesempatan selama setahun untuk
memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti
berdirinya Negara Demak secara formal, karena
yang berhak menentukan hukuman adalah pihak
negara (Widji saksono, 1995: 61). Kalau sampai
waktu yang ditentukan ia tidak mengubah
pendiriannya, maka hukuman tersebut akan
dilaksanakan. Sejak saat itu, pesantren Syekh
Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya pun
bubar, menyembunyikan diri dan sebagian
masih mengajarkan ajaran wahdatul wujud
meskipun secara sembunyi-sembunyi. Setelah
satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata
tidak berbubah pendiriannya. Maka dengan
terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan
eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah
Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan
keraton agar orang-orang tidak memujinya
Versi Keempat Syekh Siti Jenar wafat karena
vonis hukuman mati yang dijatuhi Sunan Giri
sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar
versi ini sebagaimana yang dikisahkan dalam
Babad Demak
Versi Kelima Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan
oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang
menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah
Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian
Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam
Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh
Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah
eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang
terdapat dalam versi ini berbeda dari yang
lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk
dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang
dilakukan oleh Sunan Kudus.
Versi Keenam Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati
oleh Wali Songo. Pada saatu hukuman harus
dilaksanakan, para anggota Wali Songo
mendatangi Syekh Siti Jenar untuk
melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi
kemudian para anggota Wali Songo tidak jadi
melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh
Siti Jenar justru memilih cara kematiannya
sendiri, dengan memohon kepada Allah agar
diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak
Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh Siti
Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri,
yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini
mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang
digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian
disebarluaskan kembali ileh Abdul Munir
Mulkan (t.t). Sofwan (2000: 215-217) mengutip
Suluk Wali Sanga (sebagaimana juga yang
terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam
berbagai versi) yang di dalamnya terdapat
cerita yang mengisahkan bahwa kematian
Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang
terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua
orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba
dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan
Fatah dan Majelis Wali Songo
Dua orang
utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan
Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar
pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi)
dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang
dia sampaikan kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan
oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan
terganggunya stabilitas keamanan dan
ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan
ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan,
merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila
ada kejahatan atau keonaran, tentu murid
Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika
pengawal kerajaan menangkap mereka, maka
mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila
dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh
mereka mengatakan bahwa mereka adalah
murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak
mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati
bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa
hidup sekedar menjalani mati, oleh karena itu
mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai
bernyawa bertebaran di atasnya. Dunia ini
hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih
memilih meninggalkan dunia ini. Mereka juga
mengejek, mengapa orang mati diajari shalat,
menyembah dan mengagungkan nama-Nya,
padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat
Tuhan. Berkenaan dengan pemahaman yang
demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran
Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui
Syekh Siti Jenar.
Selanjutnya,
kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan
apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran
Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan
Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus
lima orang Wali untuk memanggil Syekh Siti
Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan
ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan
Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang,
Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai
pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat
puluh orang santri lengkap dengan
persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti
Jenar datang ke istana. Sesampainya di
kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Wali tersebut
terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu
berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga.
Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan
Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia
datang ke istana karena menurutnya Wali dan
raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama
terbalut darah dan daging yang akan menjadi
bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan
karena ancaman yang ada, tetapi karena
kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian
berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan
kemudian meninggal dunia
Versi Ketujuh
Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang
memiliki nama asli yang berdekatan dengan
nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang
satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran
Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula
berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian
terusir dari Keraton, karena kedurhakaan
kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya
kepada Cirebon.
Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula
berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian
terusir dari Keraton, karena kedurhakaan
kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya
kepada Cirebon. Ia menaruh dendang kepada
Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang
guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh
yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-
Isfahani dari Persia, yang semua merupakan
teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di
Baghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi
kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal
ilmu dan kerohanian. Ketika usia Syekh siti
Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerja sama
untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah
Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya
menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti
Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu
dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat
tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti
Jenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua
tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar
memainkan perannya, mengajarkan berbagai
ajaran mistik, bahkan perdukunan yang
menggeser ajaran tauhid Islam. Hasan Ali
mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang,
dan San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai
Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa
bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa
Bagian Timur
Mereka berdua inilah (pangeran hanggaraksa alias hasan ali dan san ali anshar al asfahany ) yang sebenarnya dihukum mati oleh dewan walisongo karena sudah melancarkan berbagai
fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai
guru dan anggota Wali Songo. Kemungkinan
karena silang sengkarut kemiripan nama itulah,
maka dalam berbagai Serat dan babad di
daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar
menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang
lain, ranah politik juga ikut memberikan andil
pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena
naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan
Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik
perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang
sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa
terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan,
termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syekh
Siti Jenar yang memiliki dukungan massa
banyak, namun tidak menggabungkan diri
dalam ranah kekuasaan Raden Fatah. Jadi
dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono,
sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta
sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai
penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah
dengan cara berbagai tipu muslihat dan
pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang
berhak menjadi Sultan adalah Pangeran
Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan
Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki
Sultan Trenggono yang seharusnya
menggantikan Adipati Unus. “Seda Ing Lepen”
artinya meninggal di sungai. Sebenarnya
Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai,
namun dibunuh oleh orang-orang suruhan
Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh,
mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009:
215-278). Kematian kakaknya tersebut diduga
atas strategi Sultan Trenggono. Sultan
Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah
begitu disukai oleh para adipati dan
kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang
ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang
lembut. Salah satu tokoh penentang utama
naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah
Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid
utama Syekh Siti Jenar. Demikian pula
masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan
Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak.
Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan
kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono.
Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan
Trenggono dan para ulama yang mendekatinya
kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar.
Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa
Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali
Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah
menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di
bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal
yang sangat mustahil terjadi dalam konteks
hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai
sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi
masyarakat awam.
Sementara ketika Sunan Kalijaga
melihat tingkah laku para ulama pada zaman
Demak, yang terkait dengan bobroknya moral
dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji
yang ditujukan kepada sesama ulama, namun
beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan
Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus.
Sesuai dengan profesinya dalam budaya,
utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga
menggambarkan kelakuan para ulama yang
ambisi politik dan memiliki karakter jelek
sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa
Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama
yang bermuka dua, munafik).
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar
memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan
tentang asal-usul keberadaannya hingga proses
kematian yang dialaminya, disebabkan oleh
banyak faktor dan kepentingan yang mengitarinya. disamping kurang
objektifnya penulisan serat dan babad Jawa,
yang terkait dengan Syekh Siti Jenar. Dengan
demikian, kita dapat melihat bahwa dalam
berabgai Serat dan Babad tersebut, akhir dari
kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan
usaha-usaha intrik politik para Wali. Pada sisi lain, disamping disebabkan
banyaknya referensi yang berbeda dalam
menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman
mereka yang membaca akan memberikan
pemahaman baru dari bacaan tersebut
sehingga memperbanyak versi. Misalnya,
tentang pemahaman salah satu versi mengenai
asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat
Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur
dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal
dari cacing (elur)”
Terhadap pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur
dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal dari cacing (elur)” Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar
bukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh
Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti
Jenar yang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing)
tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di
tengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87). Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata Syekh Siti Jenar
Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali:
2008.
39. SEJARAH SYEKH SITI JENAR








No comments:
Post a Comment