Monday, August 6, 2012

MENGUAK KESALAHAN GOLONGAN YANG MENGHARAMKAN TAHLILAN

posted by : Tentara Kecil Ku
1. Kelemahan-kelemahan dalil yang mengharamkan tahlil
Keharaman tahlil sebenarnya bermula dari sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi :
وان ليس للان للإنسان الا ماسعى
Artinya : “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” )QS. Al-Najm :39 )

Dari ayat di atas seakan-akan memberikan sebuah pemahaman : “Bahwa manusia hanya bisa mendapatkan pahala amal baik yang telah ia lakukan, dari pribadinya masing-masing, dan amal baik seseorang tidak akan bisa memberikan kemanfaatan pada oaring lain”. Tahlil yang dipercayai bisa memberikan kemanfaatan bagi mayit atau bahkan ada istilah Fida’ (tebusan), hal ini jelas bertentangan dengan konsep ayat di atas yang memberikan sebuah ketegasan dilarangnya hal itu. Selain faktor ini menurut orang yang tidak mempercayai tahlil, kenyataan yang sudah mewabah di masyarakat saat ini, telah dianggap satu perkara yang dilarang oleh Nabi SAW, dengan dikategorikan sebagai bid’ah dlolalah. Sesuai dengan hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”

Hadist ini telah disepakati oleh ulama sebagai dasar atas diharamkannya bid’ah dlolalah, sehingga tahlil yang sama sekali tidak pernah kita dengar dari Nabi SAW, dianggap satu bid’ah atau model baru yang sesat dan menyesatkan, masya Allah na’udzubillah min dzalik.


Kelemahan-kelemahan dalil yang mengharamkan tahlil :
Kalau kita pandang sekilas dari pemahaman ayat tersebut (An-Najm : 39), maka akan memberikan sebuah kesan bahwasanya manusia yang sudah meninggal (di akhirat) hanya akan mendapatkan balasan amal sesuai dengan apa yang telah ia lakukan (tidak ditambah maupun dikurangi) ketika ia masih hidup (di dunia), atau juga bisa memberikan kesan perbuatan baik seseorang tidak akan pernah bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain.

Hanya saja pemahaman yang sangat sederhana ini memiliki banyak sekali kelemahan, apabila ditinjau dari berbagai macam aspek :
Pertama; anak kecil (belum baligh) di hari kiamat nanti timbangan amal baiknya akan disertakan pada ayahnya, sesuai dengan kalamullah yang berupa :

والذين أمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم وما ألتناهم من عملهم من شيئ كل امرئ بما كسب رهين
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya”.( QS. Al-Thur : 21 )

Dari pemahaman ayat ini berarti kebaikan anak yang masih kecil bisa memberikan kemanfaatan terhadap ayahnya, apakah kenyataan ini tidak dinamakan “Kebaikan seseorang bisa bermanfaat kepada orang lain?”.
Selain itu, kalau kita teringat dengan sebuah cerita yang tertera dalam Al-Qur’an “pada saat Allah mensyafa’ati (menolong) seorang anak maka ayahnyapun juga ikut di dalamnya, ataupun sebailiknya”, hal ini telah difirmankan oleh Allah yang berupa :
أباءكم وأبناءكم لا تدرون أيهم اقرب لكم نفعا
Artinya : “Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu”. (QS. Al-Nisa’ : 11)

Kalau kita mau jujur, dari dua ayat ini saja sebenarnya sudah dapat disimpulkan “Bahwa amal baik seseorang dapat bermanfaat pada orang lain”, karena dari kedua ayat tersebut memberikan asumsi bahwa amal baik seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain.

Menanggapi firman Allah SWT surat An-Najm ayat 39, sahabat Ibnu Abbas memberikan komentarnya : dua ayat Al-Qur’an yang telah kami paparkan tadi, ternyata turunnya lebih akhir dibandingkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan dilarangnya tahlil, sehingga menurut riwayat sahabat Ibnu Abbas, ayat yang mengharamkan tahlil tersebut dianggap rusak (mansukh), sesuai ketentuan yang ada dalam ushul fiqih, yang telah disepakati sekian banyak ulama’.

Kedua; Syekh Sulaiman bin Umar Al-Ajili menjelaskan :
قال ابن عباس رضي الله عنه هذا منسوخ الحكم فى هذه الشريعة اي وانما هو في صحف موسى وابراهيم عليهما السلام بقوله “وألحقنا بهم ذريتهم” فأدخل الأبناء في الجنة بصلاح الأباء. وقال عكرمة إن ذلك لقوم ابراهيم وموسى عليهم السلام وأما هذه الأمة فلهم ماسعوا وماسعى لهم غيرهم (الفتوحات الإلهية)
“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat nabi Muhammad SAW kandungan QS Al-Najm 39 telah dihapus dengan firman Allah SWT . ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at nabi Ibrahim AS dan nabi Musa AS.sedangkan untuk umat nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain”. (Al-Futuhat Al-Ilahiyyat, Juz IV hal 236)

Ketiga;
Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :
واما قوله تعالى وأن ليس للإنسان الاماسعى فهو مقيد بما اذا لم يهب العامل ثواب عمله لغيره ومعنى الأية انه ليس ينفع الإنسان فى الأخرة الا ماعمله فى الدنيا مالم يعمل له غيره عملا ويهبه له فإنه ينفعه كذلك
“Firman Allah SWT وان ليس للإنسان إلاماسعىperlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 23-24)
Pendapat lain mengatakan :
أن الاية إخبار عن شرع من قبلنا لقوله تعالى “لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا”, وقد دل شرعنا على أن الإنسان له سعيه وماسعى له غيره كما دلت عليه الايات المتقدمة (سورة الطور) والحديث المتقدم
“Ayat tersebut merupakan pemberitaan mengenai syari’at untuk orang-orang terdahulu, sebagaimana Firman Allah SWT “Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah, 48). Sedangkan dalam syari’at kita, yakni syari’at Nabi Muhammad SAW, telah dijelaskan bahwa manusia dapat menerima amalnya sendiri atau amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaiman ditunjukkan dalam QS. Al-Thur, 21 serta hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di depan”
Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39, yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadist yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hanbali (431-513 H) sebagai berikut :
الجواب الجيد عندي أن يقال الإنسان بسعيه وحسن عشرته اكتسب الأصدقاء واولد الأولاد ونكح الأزواج واسدى الخير وتودد الى الناس فترحموا عليه وأهدوا له العبادات وكان ذلك أثر سعيه (الروح )
“Jawaban yang baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesame. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya, kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”. (Al-Ruh, 145)

Keempat ;
Menurut Abi Bakar Al Warroq, ayat di atas (QS. Al-Najm : 39) tidak sesuai kalau dibuat alas an untuk melarang tahlil, karena ungkapan Al-Qur’an الاماسعى tidak berhubungan sama sekali dengan amal baik atau buruk seseorang, apalagi berhubungan dengan dilarangnya tahlil, karena menurut Abi Bakar Al Warroq arti الاماسعى adalah الامانوى yang memberikan arti : kecuali dengan apa yang diniati. Dengan didukung ungkapan Nabi SAW yang berupa :
يبعث الناس يوم القيامة على نياتهم
Artinya : “Manusia dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niatnya” (baca tafsir Fahrur ar rozi juz 27 hal 115)
Pendapat ini lebih mengedepankan niat untuk mengarahkan ayat diatas dari pada diarahkan ke-fi’lu (pekerjaan) yang jelas-jelas bertentangan dengan banyak sekali teks Al-Qur’an dan Al-hadits.

Kelima ;
Ayat وان ليس للإنسان الاماسعى hanya diperuntukkan pada orang non muslim (kafir) saja, pendapat ini diungkapkan oleh syekh ‘Araby bin Anas. Pendapat ini jika dipandang sekilas agaknya memang keterlaluan, hanya saja jika dicermati lebih dalam ternyata juga memiliki berbagai pertimbangan yang meyakinkan, di antaranya dengan adanya sabda Nabi SAW yang dikutip jelas, yaitu :
إن المؤمن يصل اليه ثواب العمل الصالح من غيره
Artinya : “Sesungguhnya orang mukmin akan mendapatkan pahala perbuatan orang lain”
Dari uraian di atas ternyata begitu tegas menyatakan bahwa amal baik seorang mukmin (bukan kafir), sebagaimana tahlil bisa memberi kemanfaatan terhadap orang lain.
Ada beberapa ulama kita (Nahdlatul Ulama) menyatakan “Manusia yang telah meninggal dunia, siksa atas dosa-dosanya akan diakhirkan selama masih ada keluarga atau siapa saja yang mengingatnya”, sehingga beliau pernah memberikan pernyataan, bahwa adat di Jawa yang mengadakan selamatan (bahasa jawanya) tujuh hari berturut-turut, empat puluh hari, seratus hari dan seribu hari setelah kematian, semuanya adalah bukti bahwa orang yang ditinggal selalu ingat dan merasa kehilangan si mayit, namun setelah itu bagaimana siksaan mayit yang tertunda ?, pertanyaan ini kita serahkan pada Allah SWT , tapi yang jelas pada saat ritual di atas (tahlil) kita selalu memintakan ampunan atas dosa-dosa mayit, sedangkan Allah SWT akan selalu mengabulkan do’a seorang hambanya, berdasrkan firman-Nya :
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم
Artinay : “Dan tuhan kamu telah berfirman : Berdo’alah kamu sekalian kepadaku, maka akau akan mengabulkan (doa) kamu sekalian”. (QS. Ghofir : 60)
Dari sekian banyak pendapat yang telah ada, tahlil yang ada di Negara kita, khususnya di Jawa yang berasal dari perjuangan Walisongo ternyata sudah dijadikan perdebatan di tahun-tahun awal, dan memberikan sebuah kesimpulan bahwa ritual ini dianggap satu hal yang baik atau sunnah, sebab sudah bisa dipastikan didalamnya ada tujuan taqorruban ila Allah SWT (mendekatkan diri kepada Allah SWT), hal ini jelas kita akui dan kita rasakan bersama. Dengan adanya pendapat yang diungkapkan sekian banyak ulama’ , maka hal tersebut bisa menepis anggapan bahwa tahlil adalah haram dan sudah dianggap tidak relevan lagi.
Kemudian mengenai maksud hadits :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله ص م قال : إذا مات ابن أدم انقطع عمله الا من ثلاث , صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya”.

Yang dimaksud dengan “terputus” dalam hadits diatas adalah amalnya sendiri, sedangkan amal orang lain tidak terputus. Ada beberapa pendapat Ulama mengenai hal ini, yaitu :
a. Ketika menjelaskan Hadits tersebut Ibnu Al-Qayyim berkata :
فإنه صلى الله عليه وسلم لم يقل انقطع انتفاعه, وانما أخبر عن انقطاع عمله وأما عمل غيره فهو لعامله فإن وهبه له وصل اليه ثواب عمل العامل
“Dalam Hadits tersebut Rasulullah SAW tidak bersabda “….akan terputus manfaatnya….”. beliau hanya menjelaskan bahwa amalnya akan terputus. Amal orang lain adalah tetap menjadi milik pelakunya, tapi bila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka pahala amalan itu akan sampai kepadanya.
(Al-Ruh, 146)
b. Ibnu Hazm juga berpendapat :
أنه لا يفيد الا انقطاع عمل الميت لنفسه فقط وليس فيه دلالة على انقطاع عمل غيره عنه اصلا ولاالمنع من ذلك
“Hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta juga tidak melarang hal tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 43)

2. Persepsi tentang bid’ahnya tahlil
Bid’ah adalah sebuah istilah mengenai satu perkara yang tidak dilakukan pada zaman Nabi SAW.
Saat ini sudah banyak sekali golongan-golongan yang tidak bertanggung jawab mengklaim bahwa segala bid’ah adalah haram, termasuk di antaranya adalah tahlil. Hal ini memang belum bisa disalahkan seratus persen, karena didukung dengan sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abi Najih Al ‘Irbadi bin Sariah :
فإن كل بدعة ضلالة
Artinya : “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”.
Namun kajian ini yang kita anggap sangat ekstrim ini juga tidak benar seluruhnya, apakah sudah benar semua bid’ah itu adalah haram ? sebagaimana tahlil. Padahal Nabi SAW sendiri tidak pernah secara tegas melarang suatu perkara yang baik. Dalam cakrawala pemahaman fiqih klasik ternyata bid’ah tidak serta merta dihukumi haram oleh para Fuqoha’ (ahli fiqih), namun bid’ah diklasifikasikan menjadi beberapa macam :
a. Bid’ah Hasanah, adalah sebuah bid’ah yang tidak melanggar tatanan ajaran agama islam, dan inipun masih dibagi menjadi tiga macam hukum :
Pertama Bid’ah Mubah, adalah bid’ah yang di dalamnya tidak mengandung tuntutan dan larangan, sebagaimana mushofahah (berjabat tangan) setelah sholat fardlu. Karena perbuatan ini tidak terkandung dalam dalil manapun, bahwa hal ini dilarang.
Kedua Bid’ah sunah, adalah bid’ah yang di dalamnya ada satu tuntutan namun tidak sampai derajat wajib sebagaimana tahlil, sebab di dalamnya ada semacam ritual untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Ketiga ; Bid’ah Wajib, adalah bid’ah yang mengandung sebuah tuntutan dan bila ditinggalkan maka diharamkan secara ijma’ (kesepakatan Ulama). Seperti membukukan Al-Qur’an, karena jika Al-Qur’an tidak dibukukan maka bacaan Al-Qur’an tidak akan bisa dipelajari dengan benar sebab tidak ada panduan yang jelas, bahkan sangat dimungkinkan sebagian besar dari Al-Qur’an akan lenyap dari muka bumi ini, dan hal ini adalah permasalahan yang paling ditakutkan oleh orang-orang islam.
b. Bid’ah Sayyiah, adalah bid’ah yang melanggar tatanan ajaran agama islam, dan inipun juga dibagi menjadi dua macam hukum :
Pertama ; Bid’ah makruh, adalah bid’ah yang melanggar tatanan agama islam, namun larangan ini tidak diungkapkan dengan tegas, dan tidak tercakup pada dalil lain yang menghukumi haram, contohnya qiyamullail (ibadah pada malam hari) yang dikhususkan pada malam jum’at saja, perlu diketahui yang dihukumi bid’ah adalah pengkhususan ibadah pada malam jum’at, bukan ibadahnya.
Kedua ; Bid’ah Haram, adalah bid’ah yang di dalamnya terdapat sebuah alasan (illat) yang mendorong untuk diharamkan
Dengan uraian ulama’ semacam ini, harusnya bisa menghilangkan satu anggapan bahwa tahlil adalah haram, sebab dikategorikan sebagai bid’ah dlolalah, naudzu billahi min dzalik.
Dalam keterangan lain dijelaskan bahwa tentang mengadakan perkumpulan semacam tahlil adalah bid’ah itu adalah anggapan yang tidak benar, selanjutnya Al-Syaukani berkata :
فقد كان الصحابة الراشدون يجتمعون في بيوتهم وفي مساجدهم وبينهم نبيهم صلى الله عليه وسلم ويتناشدون الأشعار ويتذاكرون الأخبار ويأكلون ويشربون. فمن زعم أن الإجتماع الخالي عن الحرام بدعة فقد أخطأ فإن البدعة التي تبتدع في الدين وليس هذا من ذلك (الرسائل السلافية)
“Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam Masjid, melagukan syair-syair, mendiskusikan hadits-hadits dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi SAW. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (yakni semacam tahlil), tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru)”. (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, 46)
Di dalam keterangan lain juga dijelaskan bahwa Imam Syafi’i RA mengatakan, “Sesuatu hal yang baru dan menyalahi ajaran Al-Qur’an atau Al-Sunnah atau Ijma’ atau Atsar maka dinamakan bid’ah dlolalah, dan suatu hal kebaikan yang baru dan tidak menyalahi ajaran tersebut adalah bid’ah mahmudah.
Kitab Ianatut Thalibin Juz I hal 271-272 Darul Fikr :
وقال ابن حجر في فتح المبين في شرح قوله صلى الله عليه وسلم من أحدث في امرنا هذا ماليس منه فهو رد ما نصه قال الشافعي رضي الله عنه ما أحدث وخالف كتابا او سنة او اجماعا او اثرا فهو البدعة الضلالة ومااحدث من الخير ولم يخالف شيئا من ذلك فهو البدعة المحمودة
Kitab Tuhfatul Murid hal 125 :
والحاصل ان كل ماوافق الكتاب اوالسنة اوالإجماع او القياس فهو سنة وماخرج عن ذلك فهو بدعة مذمونة

3. Pengertian tentang niyahah
Niyahah adalah memperlihatkan kesedihan yang melewati batas seperti menangis sambil menjerit, berbicara tidak karuan, menggunakan busana yang tidak pantas dan lain sebagainya. Maka niyahah semacam itu hukumya haram.
Sementara ada hadist mauquf yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majjah, yaitu
عن جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال كنا نعد الإجتماع الى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة
“Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah RA ia berkata, “Kami menganggap perkumpulan orang yang hadir di rumah keluarga mayit dan menyuguhi makanan kepada mereka itu termasuk niyahah”
Yang dimaksud dengan niyahah diatas adalah, jika makanan yang disuguhkan kepada para penta’ziyah berasal dari harta peninggalan mayit. Seperti yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Husein Al-Makki Al-Maliki ketika menjelaskan hadist tersebut ;
يحمل على ما كان الإتخاذ المذكور من التركة وكان على الميت دبن او كان في الورثة محجور عليه او غائب او من لم يعلم رضاه (بلوغ الأمنية :
“Termasuk niyahah dalam hadits itu adalah jika (pertama) makanan yang disuguhkan berasal dari harta peninggalan mayit, sedang mayit masih mempunyai hutang, (kedua) di kalangan ahli waris ada yang mahjur ‘alaih (orang yang karena suatu sebab, tidak diperkenankan secara hukum mengatur hartanya. Seperti anak kecil atau orang gila), (ketiga) orangnya tidak ada di tempat, atau (keempat) ada ahli waris yang tidak diketahui ridlanya” (Bulugh Al-Umniyah, 216)
Dalam redaksi kitab ‘Ianatut Thalibin Juz III hal 242 juga dikatakan :
وفي حاشية العلامة الجمال على شرح المنهج : ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها : ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين, بل كل ذلك حرام ان كان من مال محجور, او من ميت عليه دين, او يترتب عليه ضرر, او نحو ذلك اهـ

3 comments:

  1. manteeepp..nambah pengetahuan nich...semoga bermanfaat..amiieeen...jika berkenan kunjung balik ya...ditunggu

    ReplyDelete
  2. wah kalau gitu gini aja mas, kita hidup nggak pernah shalat trus sebelum kita mati kita amanahkkan saja pada yang masih hidup supaya tahlilkan kita setiap hari jangan 1,3,7 hari aja, enak banget kayaknya, biar kita bisa mendapat ampunanNya. Jadi tetep yang jadi dasar utama Al-Quran QS An-Najm tersebut dah jelas. Apalagi ditambah hadist yang mengatakan ada 3 amalan yang tidak akan terputus ketika seorang meninggal dan salah satunya tidak ada yang mengatakan tahlilan jamaah. hanya doa dari anak Sholeh, mala jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Cukup jelas kelihatannya, arti dari ayat2 tadi

    ReplyDelete