oleh : Tentara Kecil Ku
Hukum
Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Maulid Nabi
adalah peringatan kelahiran Beliau SAW yang berisi pembacaan ayat-ayat
al-Quran, kisah-kisah seputar Nabi Muhammad SAW guna mengenang kehidupan
Beliau. Biasanya maulid Nabi dilakukan dengan membaca kisah kehidupan Nabi
seperti al-Barzanjy, ad-Daiba’y, Simth ad-Durâr, menghidangkan makanan,
memperbanyak shalawat, mau’idhah hasanah, dan lain-lain. Dengan menjelajahi seluk beluk kehidupan
Nabi SAW banyak hal yang dapat kita pelajari baik dari sisi kemanusian, sosial
dan keadilan, karena beliaulah manusia terbaik dan teladan kita yang akan
membawa kita pada jalan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak,
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzâb ayat 21:
Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.
Peringatan maulid seperti yang kita
kenal sekarang sebenarnya baru dirintis oleh penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Sa’îd Al
Kukburi Bin Zainuddin Ali Bin Buktikin. Meski demikian, orang yang melakukannya
akan diberi pahala. Imam Suyûthy mengatakan :
سُئِلَ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ
فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ
أَوْ مَذْمُومٌ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا قَالَ وَالْجَوَابُ عِنْدِي أَنَّ
أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ
مِنْ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ
r وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنْ الْآيَاتِ ثُمَّ
يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى
ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ
مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ r وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ
وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ
Beliau
(Imam Suyûthy) ditanya tentang perayaan
maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal. Bagaimana hukumnya menurut syara’ ?
Apakah terpuji atau tercela ? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala
atau tidak ? Beliau menjawab, “Jawabannya menurutku bahwa asal perayaan maulid
Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Quran, dan kisah-kisah teladan
Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya.. Kemudian
menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya
itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang
melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan
rasa suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia.[1]
Jadi sebetulnya hakikat perayaan maulid Nabi
itu merupakan bentuk pengungkapan rasa syukur dan senang atas terutusnya Nabi
Muhammad SAW ke dunia ini. Di samping itu, melihat isi dari perayaan maulid
Nabi SAW, hal ini termasuk melaksanakan anjuran-anjuran agama. Sayyid Muhammad
bin Alwi al-Maliki al-Hasani menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang
tentu terkandung dalam perayaan maulid Nabi :
- Pembacaan shalawat pada Nabi SAW yang keutamaannya sudah tidak diragukan lagi. Di isi dengan sejarah nabi ketika berdakwah, cerita kelahiran beliau dan wafatnya. Sehingga dengan kajian inilah seorang muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
- Peringatan tersebut merupakan sebab atau sarana yang mendorong kita untuk bershalawat pada beliau sehingga termasuk melakukan perintah Allah :
إنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata. (QS al-Ahzâb : 58)
- Menceritakan tentang sopan santun dan tingkah laku yang terpuji sehingga seorang muslim akan termotivasi untuk mengikuti perilaku Beliau SAW. Apa lagi diselingi dengan pengajian agama, membaca Al-Quran, bersedekah dan ritual-ritual yang mendapat legalitas syariah.[2]
Penjelasan di atas
memberikan pengertian bahwa maulid nabi merupakan tradisi yang baik dan
mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang akhirnya kembali pada umat itu
sendiri.[3]
Hanya yang perlu
ditegaskan, peringatan maulid Nabi SAW tidak terkhusus pada bulan Rabi’ul Awwal
saja. Kita dianjurkan untuk selalu memperingati Nabi Muhammad SAW sepanjang
waktu setiap ada kesempatan, lebih-lebih ketika bulan Rabi’ul Awwal dan ketika
hari Senin. Memang peringatan maulid Nabi SAW pada bulan tertentu dan dengan
model tertentu tidak mempunyai nash yang tegas. Namun juga tidak ada satu
dalilpun yang melarang karena berkumpul untuk bersama-sama mengingat Allah,
membaca shalawat dan amal-amal baik lainnya termasuk yang harus selalu kita
perhatikan dan kita lakukan. Lebih-lebih pada bulan kelahiran Beliau SAW di
mana rasa keterikatan sejarah akan sangat mendorong masyarakat untuk lebih
bersungguh-sungguh dan lebih meresapi apa yang dilakukan dan disampaikan.
DALIL-DALIL
DIPERBOLEHKAN PERAYAAN MAULID
@ Perayaan maulid Nabi SAW adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah atas
kelahiran Beliau. Hal ini diperintahkan oleh agama sebagaimana firman Allah :
Katakanlah, "Dengan
kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan"(QS Yûnus : 58).
Dalam ayat ini
Allah memerintahkan kita untuk bergembira ketika mendapatkan rahmat Allah.
Padahal Nabi Muhammad SAW adalah rahmat
yang paling agung sebagaimana firman Allah :
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.(QS al-Anbiyâ` :107)
Hal ini diperkuat
oleh pendapat shahabat Ibn ‘Abbas. Ketika mengomentari surat Yûnus : 58, Beliau
mengatakan,
فضل الله العلم ورحمته محمد r
قال الله تعالى وما أرسلناك إلا رحمة للعلمين
Karunia
Allah adalah ilmu, sedang rahmat Allah adalah Nabi Muhammad SAW.Allah
berfirman,”Wa Mâ Arsalnâka…..[4]
Bergembira atas
kelahiran Nabi SAW dianjurkan di setiap waktu dan dalam setiap karunia. Namun
anjuran tersebut menjadi lebih pada hari Senin dan bulan Rabi’ul Awwal karena
mempunyai keterikatan sejarah.
@ Nabi sangat memulyakan dan memperhatikan hari kelahiran Beliau sebagaimana
tercermin dalam hadits :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ , فَقَالَ :
ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْت فِيهِ , وَبُعِثْت فِيهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ }
رَوَاهُ مُسْلِمٌ عن أبي قتادة
Rasulullah ditanya tentang puasa pada hari Senin. Beliau
menjawab, “Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau wahyu
diturunkan padaku (HR Muslim dari Abî Qatâdah)
Betapa Rasulullah
memulyakan hari kelahirannya, beliau bersyukur pada Allah SWT pada hari
tersebut atas karunianya yang telah menyebabkan keberadaannya yang diungkapkan
dengan berpuasa. Di sinilah Nabi telah menanamkan benih-benih perayaan maulid
Nabi.
Memang Nabi
memperingati hari kelahiran Beliau dengan berpuasa berbeda dengan yang sering
dilakukan oleh masyarakat sekarang. Namun hal ini tidak mengapa karena hanya
masalah metode. Sedang inti dan tujuannya sama, yaitu memperingati dan
mensyukuri kelahiran Beliau. Hal ini tidak jauh beda dengan perintah
mengajarkan al-Quran. Sekarang al-Quran diajarkan melalui CD, kaset, dan lain
sebagainya, berbeda dengan pada masa Rasulullah SAW. Hal ini tidak mengapa
karena hanya dalam metode. Sedang intinya sama yaitu mengajarkan al-Quran.
@ Nabi SAW selalu memperhatikan waktu-waktu bersejarah yang telah lewat.
Ketika tiba masa peristiwa tersebut, Rasulullah SAW memperingati dan memulyakan
hari tersebut. Hal ini tercermin dalam hadits :
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ r الْمَدِينَةَ وَجَدَ
الْيَهُودَ يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ
الَّذِي أَظْفَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُومُهُ
تَعْظِيمًا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى
مِنْكُمْ ثُمَّ أَمَرَ بِصَوْمِهِ (رواه البخاري وسلم وغيرهما)
Dari Ibn ‘Abbâs ra. Ia berkata, ketika Rasulallah SAW dan para sahabat tiba
di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang puasa Asyura’ (10
Muharram). Rasulullah SAW bertanya, “Mengapa kalian melakukan puasa tersebut?”
Orang yahudi menjawab, “Pada hari inilah Allah menenggelamkan Firaun dan
menyalamatkan Nabi Musa as. Kami sangat mensyukurinya. Oleh karena itu kami
berpuasa. Mendengar jawaban itu, Rasulallah bersabda, “Kami lebih berhak untuk
memulyakan Nabi Musa as. (dengan berpuasa) daripada kalian.” (HR Bukhari,
Muslim, Abi Dawud, dll.)
@ Peringatan maulid Nabi adalah mengingat perjalanan hidup dan diri
Rasulullah SAW. Hal seperti ini termasuk bagian dari anjuran agama. Bila kita
perhatikan rangkaian ritual ibadah haji, ternyata mayoritas adalah untuk
mengingat peristiwa-peristiwa khusus dan tempat-tempat bersejarah, seperti :
sa’i Shafa dan Marwah untuk mengingat Siti Hajar ketika mencari air,
penyembelihan di Mina, melempar jumrah, dan lain sebagainya.
@ Manfaat dari bergembira dengan kelahiran Nabi SAW ternyata juga bisa
dirasakan oleh Abu Lahab sebagaimana disampaikan al-Hâfidh Syamsuddîn
al-Jazary dalam ‘Urf at-Ta’rîf bi al-Maulid as-Syarîf :
قد رؤي أبو لهب بعد موته في النوم فقيل له ما حالك فقال في النار إلا
أنه يخفَّف عني كلَّ ليلة اثنين وأمُصُّ
من بين أصبعي هاتين ماء بقدر هذا وأشار برأس أصبعه وإن ذلك بإعتاقي ثُويبة عندما
بشرتْني بولادة النبي r وبإرضاعها له
Abu Lahab terlihat dalam mimpi setelah ia mati. Ia
ditanya,”Bagaimana kondisimu?” Abu Lahab menjawab, “Di neraka. Hanya saja Allah
memberi keringanan padaku setiap malam Senin dan aku menghisap air dari antara jariku
dengan ukuran segini –ia mengisyarahkan dengan ujung jarinya- semua ini karena
aku memerdekakan Tsuwaibah setelah memberitahukan kelahiran Nabi SAW dan karena
menyusukan Nabi padanya.[5]
Kisah tersebut
diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Kitâb an-Nikâh, Ibn Hajar
dalam Fath al-Bâri`, ‘Abdur Razâq as-Shan’âny dalam al-Mushannaf,
al-Baihaqy dalam Dalâ`il an-Nubuwwah, Ibn Katsîr dalam al-Bidâyah,
as-Syaibany dalam Hadâ`iq al-Anwâr, al-Baghawy dalam Syarh as-Sunnah,
dan lain-lain.
Abu Lahab yang
kafir saja mendapatkan dispensasi siksa karena memulyakan dan gembira atas
kelahiran Nabi. Apalagi bila yang bergembira adalah orang Islam. Meskipun kisah
ini termasuk kategori hadits mursal, namun dapat diterima karena telah dinukil
oleh Imam Bukhari dan menjadi pedoman para ulama. Lagipula ini dalam
permasalahan sejarah bukan dalam hukum.[6]
Tidak setiap perbuatan yang tidak dikenal di masa awal
Islam berarti tidak boleh dilakukan.[7] Apalagi dalam permasalahan
maulid. Meski model secara utuh yang dikenal sekarang tidak pernah dilakukan di
masa awal Islam namun secara parsial, tiap amal yang dilakukan pada perayaan
maulid dianjurkan agama. Sehingga perayaan maulid Nabi juga termasuk anjuran
agama. Sebab sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang dianjurkan berarti juga dianjurkan.
[1] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, al-Hâwi
li al-Fatâwi, vol.I, hal. 251-252.
[2] Syekh Sayyid Muhamad ‘Alâwy al-Maliki, Fatâwî Rasâ`il, hal. 180
[3] Sayyid Muhamad ‘Alawy al- Maliki, Mafâhîm,
tt., hal. 78
[4] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, ad-Dur
al-Mantsûr, Maktabah al-Maimuniyah, vol.II, hal. 308.
[5] Sayyid Muhammad ‘Alawy al-Mâliky al-Hasany,
Haul al-Ihtifâl, hal. 17
[6] Yûsuf Khaththâr Muhammad, Op.Cit.,
hal.136
[7] Lebih jelas silahkan lihat dalam
pembahasan bid’ah.
No comments:
Post a Comment