Tuesday, February 19, 2013

64. PRO KONTRA RUU PERKAWINAN

Deskripsi Masalah
Diantara daftar Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2010 ini, Kementerian Agama berencana mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang meliputi ketentuan nikah sirri (perkawinan di bawah tangan), nikah mut’ah (kawin kontrak), poligami dan thalaq (cerai). Beberapa pasal dalam draft RUU tersebut juga memuat ketentuan pidana kurungan mulai 6 bulan hingga 3 tahun, serta denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta misalnya pada:
Pasal 143 Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
Pasal 144 Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah sebagaimana dimaksud pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan perkawinannya batal karena hukum;
Pasal 145 Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
Pasal 146 Setiap orang yang menceraikan istrinya tidak di depan sidang pengadilan sebagaimana dalam pasal 119 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
Pasal 147 Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Menurut RUU tersebut, perkawinan yang tidak dilangsungkan di hadapan pejabat pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal berikut :
Pasal 4 Setiap perkawinan wajib dicatat oleh pejabat pencatat nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5 (1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 4 setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan pejabat pencatat nikah.
Pasal 5 (2) Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam KHI (kompilasi Hukum Islam) Pasal 5-6  sebagai berikut :
Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Pasal 5 (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1),  dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap  perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 6 (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Draft RUU tersebut dimaksudkan sebagai wujud perlindungan akibat buruk pada pihak-pihak yang menjadi korban. Misalnya nikah sirri, kawin kontrak dan poligami dipandang banyak merugikan perempuan dan sering disalahgunakan menjadi perzinaaan terselubung yang dimanfaatkan sebagai media singgahan pemuasan dan pelampiasan seks tanpa tanggung jawab yang berakibat istri dan anak-anak terlantar, tidak ada pengakuan dari istri pertama dll. RUU ini juga diharapkan akan mempermudah istri atau anak memperoleh haknya secara hukum positif seperti hak warisan, hak perwalian,tunjangan kesehatan, pembuatan KTP atau paspor dll.
Kendati demikian, khusus RUU nikah sirri dan poligami tersebut mendapat respon penolakan keras dari belbagai kalangan karena di samping dinilai menyudutkan dan mempersulit amaliah umat Islam, RUU tersebut juga dikhawatirkan justru akan mengobsesi seseorang memilih melakukan zina ketimbang harus menikah. Lebih dari itu, pemidanaan dengan denda dan atau hukuman penjara terhadap perkawinan tanpa dokumentasi itu dinilai berlebihan, karena praktek nikah sirri sebenarnya hanya merupakan pelanggaran administratif keperdataan, yaitu melanggar pasal 2 UU 1/1974 tentang perkawinan, bukan bentuk pelanggaran pidana sehingga tidak proporsional jika harus dikriminalisasi.
Pertanyaan
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, dapatkah dibenarkan pemberlakuan pasal nikah sirri dan poligami di atas?
Bagaimana hukum pemidanaan pelanggaran UU nikah sirri dan poligami di atas?
Jika pemerintah benar-benar memberlakukan, bagaimana konsekuensi hukum perkawinan atau perceraian yang melanggar pasal nikah sirri dan poligami di atas?
Sail : PP. Langitan & Panitia
Jawaban
UU Perkawinan sesuai yang tertuang dalam KHI yang membatasi pernikahan siri dengan tidak mengesahkannya tidak dapat dibenarkan karena menganggap batal pernikahan yang sudah sah sesuai syara’.
Gugur
Gugur

الفقه الإسلامي الجزء التاسع  صـ 6674
الدعوة إلى جعل تعدد الزوجات بإذن القاضي ظهرت دعوات جديدة في عصرنا تمنع تعدد الزوجات إلا بإذن القاضي ليتأكد من تحقق ما شرطه الشرع لإباحة التعدد، وهو العدل بين الزوجات والقدرة على الإنفاق لأن الناس وخصوصاً الجهلة أساؤوا استعمال رخصة التعدد المأذون بها شرعاً لغايات إنسانية كريمة لكن تولى المخلصون دحض مثل هذه الدعوات لأسباب معقولة هي ما يأتي (1) 1- إن الله سبحانه وتعالى أناط بالراغب في الزواج وحده تحقيق شرطي التعدد، فهو الذي يقدر الخوف من عدم العدل، لقوله تعالى: {فإن خفتم ألا تعدلوا، فواحدة} [النساء:3/4] فإن الخطاب فيه لنفس الراغب في الزواج، لا لأحد سواه، من قاض أوغيره، فيكون تقدير مثل هذا الخوف من قبل غير الزوج مخالفاً لهذا النص. وكذلك البحث في توافر القدرة على الإنفاق، فإنه منوط بالراغب في الزواج، لقوله ﷺ «يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج..» فهو خطاب للأزواج، لا لغيرهم. 2 – إن إشراف القاضي على الأمور الشخصية أمر عبث، إذ قد لا يطلع على السبب الحقيقي، ويخفي الناس عادة عنه ذلك السبب فإن اطلع على الحقائق كان اطلاعه فضحاً لأسرار الحياة الزوجية، وتدخلاً في حريات الناس، وإهداراً لإرادة الإنسان، وخوضاً في قضايا ينبغي توفير وقت القضاة لغيرها، ومنعاً وأمراً في غير محله، فالزواج أمر شخصي بحت، يتفق فيه الزوجان مع أولياء المرأة، لا يستطيع أحد تغيير وجهته، وتبديل قيمه. وإن أسرار البيت المغلقة لا يعلم بها أحد غير الزوجين.
بغية المسترشدين  صـ 271 دار الفكر
فائدة حكم العرف والعادة حكم منكر ومعارضة لأحكام الله ورسوله وهو من بقايا الجاهلية في كفرهم بما جاء به نبينا محمد عليه الصلاة والسلام بإبطاله فمن استحله من المسلمين مع العلم بتحريمه حكم بكفره وارتداده واستحق الخلود في النار نعوذ بالله من ذلك اهـ فتاوى بامخرمة. ومنها يجب أن تكون الأحكام كلها بوجه الشرع الشريف وأما أحكام السياسة فما هي إلا ظنون وأوهام فكم فيها من مأخوذ بغير جناية وذلك حرام وأما أحكام العادة والعرف فقد مرّ كفر مستحله ولو كان في موضع من يعرف الشرع لم يجز له أن يحكم أو يفتي بغير مقتضاه فلو طلب أن يحضر عند حاكم يحكم بغير الشرع لم يجز له الحضور هناك بل يأثم بحضوره اهـ.
التشريع الجنائي في الإسلام الجزء الأول صـ 254
إن أولي الأمر بحسب نصوص الشريعة الإسلامية ليس لهم حق التشريع المطلق للأسباب التي بيناها: وإن حقهم في التشريع قاصر على نوعين من التشريع الأول تشريعات تنفيذية يقصد بها ضمان تنفيذ نصوص الشريعة الإسلامية. والثاني: تشريعات تنظيمية لتنظيم الجماعة وحمايتها وسد حاجاتها على أساس مبادئ الشريعة العامة. وهذه التشريعات لا تكون إلا فيما سكتت عنه الشريعة فلم تأت بنصوص خاصة فيه ولا يمكن أن تكون فيما نصت عليه الشريعة، ويشترط في هذه التشريعات قبل كل شئ أن تكون متفقة مع مبادئ الشريعة العامة وروحها التشريعية، فهي تشريعات توضع بقصد تنفيذ مبادئ الشريعة العامة، وإذن فهي في حقيقتها نوع آخر من التشريعات التنفيذية.
الفقه الإسلامي وأدلته الجزء التاسع صـ 339
وليست الدعوة المعاصرة إلى جعل الطلاق بيد القاضي ذات فائدة؛ لمصادمة المقرر شرعاً، ولأن الرجل يعتقد ديانة أن الحق له، فإذا أوقع الطلاق، حدثت الحرمة دون انتظار حكم القاضي. وليس ذلك في مصلحة المرأة نفسها؛ لأن الطلاق قد يكون لأسباب سرية ليس من الخير إعلانها، فإذا أصبح الطلاق بيد القاضي انكشفت أسرار الحياة الزوجية بنشر الحكم، وتسجيل أسبابه في سجلات القضاء، وقد يعسر إثبات الأسباب لنفور طبيعي وتباين أخلاقي

REFERENSI
1.    Al Fiqh al Islami, vol. 9 hal. 6674
2.    Bughyah al Mustarsyidin hal. 271

3.    At Tasyri’ al Jana’i, vol. 1, hal. 254
4.    Al Fiqh al Islami, vol. 9 hal. 339

Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il XXI

FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN
SE JAWA-MADURA
Di Pon. Pes. Lirboyo PO BOX 162 Kota Kediri


64. PRO KONTRA RUU PERKAWINAN

No comments:

Post a Comment